Rabu, 28 Desember 2016

(Puisi) Mbeling: Pengakuan dan Eskapismenya

Kelahiran Puisi Mbeling

Puisi mbeling merupakan bentuk puisi yang tidak mengikuti kaidah estetika puisi pada umumnya; mengutamakan unsur kelakar; pengarang memanfaatkan semua unsur puisi berupa bunyi, rima, irama, pilihan kata dan tipografi untuk mencapai efek kelakar tanpa ada maksud lain yang disembunyikan (tersirat), menyampaikan kritik sosial terutama terhadap sistem perekonomian dan pemerintahan, serta menyampaikan ejekan atau bersifat satir kepada para penyair yang bersikap sungguh-sungguh terhadap puisi. Dalam hal ini, Taufik Ismail menyebut puisi mbeling dengan puisi yang mengkritik puisi[1]Puisi mbeling masih memperlihatkan kesamaan makna dengan puisi-puisi pada umumnya, sehingga akan sulit membedakannya dengan puisi-puisi lainnya. Tetapi jika melihat puisi mbeling secara langsung akan menimbulkan persepsi baru terhadap hakikat puisi pada umumnya yang sifatnya ‘serius’. Penggunaan kata serta bahasa cendrung spontan dan apa adanya.

Puisi mbeling lahir pada sekitar tahun 70-an, dipelopori oleh Remy Sylado, Jeihan, dan kemudian muncul Yudistira yang ikut meramaikan ‘demam’ puisi mbeling. Puisi mbeling yang berarti nakal berciri khas humor, keluguan, kritik, serta unik dari segi bahasanya. Majalah Aktuil pertama kali mewadahi karya-karya dari penulis-penulis baru yang memulai kreativitas melalui sastra berupa puisi tersebut.  Oleh karena itu,  remaja yang menjadi konsumen majalah remaja di masa itu, dengan mudah menyambut hangat kehadirannya. Rubriknya memiliki nama yang sama yakni “Puisi Mbeling”. Meskipun terjadi perubahan nama berulang kali, seperti menjadi Puisi Lugu, Puisi Awam, serta Puisi Underground, namun nama Puisi Mbeling-lah yang populer di kalangan masyarakat. Selain Majalah Aktuil, majalah-majalah lain ikut meramaikan dan mewadahi kreativitas penulis muda, seperti Majalah Top, dengan tajuk Puisi Lugu, ketika sang penggagasnya, Remy Sylado pindah ke majalah ini, yang mengawali penyebaran ‘virus’ puisi mbeling di berbagai media massa. Untuk menyebut beberapa di antaranya; Majalah Stop, Astaga, Sonata, Yunior serta beberapa majalah remaja lainnya dan juga muncul berbagai rubrik serupa puisi mbeling di berbagai surat kabar mingguan yang terbit di berbagai daerah. Berikut adalah salah satu puisi yang diterbitkan dalam Majalah Aktuil pada tahun 1970-an oleh Remy Sylado.

Kesetiakawanan Asia-Afrika
Mei Hwa perawan 16 tahun
Farouk perjaka 16 tahun
Mei Hwa masuk kamar jam 24.00
Farouk masuk kamar jam 24.00
Mei Hwa buka blouse
Farouk buka hemd
Mei Hwa buka rok
Farouk buka celana
Mei Hwa buka BH
Farouk buka singlet
Mei Hwa telanjang bulat
Farouk telanjang bulat
Mei Hwa pakai daster
Farouk pakai kamerjas
Mei Hwa naik ranjang
Farouk naik ranjang
Lantas mereka tidurlah
Mei Hwa di Taipeh
Farouk di Kairo

Dengan kemunculan puisi mbeling, minat remaja akan penulisan puisi menggelora dengan banyaknya puisi-puisi yang datang ke redaksi majalah, dengan demikian antusiasme penulis muda akan sastra khususnya puisi, memiliki wadahnya tersendiri. Dapat dilihat karakter puisi mbeling terdapat ciri khas humor dan terkesan santai dari puisi-puisi pada umumnya. Ending dari puisi mbeling terdapat makna yang memiliki karakter jenaka dan kadang berakhir dengan senyum atau bahkan tawa dan tentu saja memiliki makna yang serius yang dikemas berbeda. Maka dengan hadirnya puisi mbeling ini, kesan bahwa puisi merupakan sastra yang serius dengan bahasa baku perlahan memudar.

Sabtu, 17 September 2016

Kopi, Siaran Langsung, Dan Kebungkaman Dalam Budaya Populer*

Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia tidak akan asing dengan istilah “Kopi Sianida”. Kasus yang belakang menjadi perhatian publik bukan soal jenis menu baru racikan barista, tetapi masalah kasus kematian seorang perempuan bernama Wayan Mirna yang menyeret sahabatnya, Jessica Kumala Wongso sebagai tersangka utama yang dituduh meracuni korban dengan memasukan racun sianida ke dalam kopi di sebuah café di Jakarta.

Tulisan ini tidak akan membahas permasalahan hukum mengenai kasus tersebut. Hal yang menarik untuk dilihat adalah bagaimana kasus ini menjadi sebuah tontonan populer yang menjadi konsumsi masyarakat dalam beragam media. Kasus ini bahkan ditayangkan prime time secara live di beberapa stasiun swasta Indonesia dari awal hingga selesai persidangan. Tidaklah beralasan stasiun-stasiun televisi akan menayangkannya karena animo masyarakat terhadap kasus ini sama besarnya.


Kita diingatkan kembali pada acara-acara live berdurasi panjang tayangan pernikahan dan kelahiran selebritis beberapa tahun silam. Kini, kasus persidangan seseorang yang bukan selebritis malah ikut diikuti masyarakat, hingga penonton seolah menyaksikan acara sinetron. Terlebih, kasus tersebut menyangkut budaya populer kekinian: trend coffee shop. Dalam layar kaca, dapat kita lihat bagaimana kamera menyorot dua sisi sekaligus; keterangan saksi dan wajah ekslusif terdakwa. Media televisi menjadi bergairah kembali untuk disaksikan, setelah sebelumnya masyarakat jenuh dengan tayangan-tayangannya dan beralih ke media sosial internet.

Alih-alih menjadi penonton cerdas yang mendapat pengetahuan mengenai hukum dan persidangan, tontonan semacam ini nyatanya tidak jauh beda dengan acara-acara serial televisi lain yang menyorot kehidupan selebriti, sinetron, ataupun acara bincang artis. Satu-persatu tokoh yang muncul dan angkat bicara dipersidangan di-googling dan dibicarakan, tak jauh beda dengan acara infotainment yang sering dijadikan tontonan eskapis yang menghibur.


Seorang pemikir Prancis, Pierre Macherey, melihat bagaimana kebungkaman dibalik budaya populer. Meskipun anggota Komunis Prancis sekaligus murid Althusser itu melihat dari sudut pandang karya sastra. Tetapi cara kerja sebuah media populer membungkam wacana sebagai pengalih-perhatian, menarik untuk mengkaji tren populer ini. Cara kerja ini pula yang hampir sama dengan yang pernah ditulis oleh Ariel Heryanto dalam bukunya, Identitas dan Kenikmatan. Bagi Macherey, yang terpenting dari sebuah teks adalah apa yang disembunyikannya. Maka semakin banyak teks itu diolah, maka semakin besar yang dibungkamnya. Ada sebuah proyek ideologis yang dibuat untuk mengalihkan, membungkam, atau menunda wacana besar dan penting untuk dibongkar dan diketahui. Baik disengaja ataupun tidak, konsumen tersebut kemudian secara tak sadar melupakan dan teralihkan pada wacana yang lebih massal dibicarakan.

Di era tahun 90-an, penonton berita televisi nasional dicekoki tayangan mengenai pemimpin bangsa sedang menanam padi, membangun jembatan, atau berita mengenai kelaparan Ethiopia yang membuat penontonnya simpati dan miris. Berita-berita semacam itu yang menjadi pengalih-perhatian konsumen televisi. Seolah-olah mereka tengah menonton tayangan berbobot yang menunjukkan kemajuan bangsa dan mensyukuri kehidupan orde itu. Mereka seakan dibawa lupa, bahwa pada saat itu, bangsapun tengah diancam krisis pangan dan kemiskinan. Meskipun tak ada yang bisa menyalahkan peran media sebagai wadah aspirasi dan hiburan, tetapi penontonpun harus lebih jeli, cerdas, dan sensitif terhadap tayangan populer. Dibalik popularitas yang dibuat massal dan hiperbola, takkan ada yang tahu wacana yang dibungkamnya.



***



* Versi PDF dapat diunggah di sini

Rabu, 15 Juni 2016

Reuni antara Kapitalis dan Komunis dalam Novel Dunia Sophie Karya Jostein Gaardner

Tulisan ini merupakan kajian yang berusaha menunjukkan eksistensi kelas-kelas yang berada di fiksi Dunia Sophie (Bahasa Indonesia) karya Jostein Gaardner. Meskipun tidak secara keseluruhan, tulisan singkat non-ilmiah ini hanya menggambarkan bagaimana eksistensi kelas borjuis, proletar, hingga pertemuan tersebut berubah menjadi pertemuan komunis dan kapitalis hanya melalui kisah singkat pertemuan antara Ebenezeer Scrooge dan Gadis Korek Api.

Pertemuan Dua Tokoh Fiktif Legendaris

Narasi antar teks yang berbeda mampu dihubungkan dalam sebuah peristiwa. Bagi Iser (1978) pertemuan antar teks tersebut saling memengaruhi antara teks dan pembacanya. Jostein Gaardner mempertemukan banyak narasi cerita ke dalam novel filsafatnya berjudul Dunia Sophie (1991). Meskipun kebanyakan mengisahkan peranan para filosof sebagai gagasan utama Alberto Knox untuk memberikan kuliah filsafat kepada Sophie Amundsen. Dunia Sophie merupakan cerita dalam cerita yang dibangun oleh Gaardner yang mengisahkan Albert Knag yang menulis novel filsafat untuk anaknya Helda Knag. Novel itu kemudian, di dalamnya, mengisahkan Sophie Amundsen –yang seusia dengan Helda, bertemu dengan Alberto Knox yang memberikan kuliah filsafat. Di dalam kuliahnya tersebut, Alberto menjelaskan filsafat kepada Sophie, di luar itu Albert Knag memberikan gagasan filsafat lain melalui kisah Sophie sendiri.

Pertemuan antara kisah-kisah berbeda tersebut dikemas ke dalam satu fragmen guna memberikan contoh sederhana namun bermakna bagi pembacanya. Kebanyakan kisah yang diambil lebih kepada kisah nyata mengenai perjalanan seorang filsuf memikirkan gagasan yang digelutinya, seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Hegel, dan beberapa filsuf kenamaaan lainnya yang dibahas tiap babnya. Beberapa tokoh fiksi dunia diselipkan sebagai pembawa pesan inti cerita, misalkan Noah atau Nabi Nuh yang membawakan gambar binatang-binatang yang diselamatkannya dalam bahtera buatannya. Atau Si Kerudung Merah yang mengganggu Alberto dan Sophie saat belajar, beberapa tokoh fiksi tersebut memang diwujudkan dalam teks dan memiliki tendensi tersendiri.

Salah satu kisah menarik terdapat dalam bab mengenai Marx, Gardner melalui Albert mempertemukan dua cerita dunia; A Christmas Carrol oleh Charles Dickens dan A Little Matchgirl oleh Hans Christian Andersen sebagai contoh antara kaum borjuis yang diwakili oleh Scrooge dan kaum proletar oleh Gadis Korek Api. Diceritakan bahwa Sophie bertemu dengan Ebenezeer Scrooge di hutan dalam perjalannya menuju gubuk Sang Mayor. Scrooge tengah sibuk dengan kalkulasi perusahaannya dan sangat tidak berkenan untuk diganggu, bagi Scrooge keuntungan dan kekayaannya merupakan kesuksesan utama yang tidak bisa disia-siakan. Maka Sophie tidak memiliki kepentingan dengannya meneruskan perjalanannya, tidak berapa lama dia kemudian bertemu dengan Gadis Korek Api yang digambarkan miskin dan menjual koreknya seharga 1 crown. Merasa ironis dengan keadaan Gadis Korek Api tersebut, Sophie kemudian menuntun gadis itu menuju Scrooge. Dan sesuai dugaan, Scrooge menolak untuk menolong gadis miskin tersebut dan menyuruhnya pergi.

Ketika Gadis Korek Api tersebut mengancam Scrooge untuk menyalakan korek apinya dan membakar hutan, Scrooge berteriak Tuhan menolongku! Jago merah itu telah berkokok! Kemudian si Gadis Korek Api tersenyum lucu dan berkata dengan tidak terduga Anda tidak tahu aku seorang komunis, bukan? Dialog pendek tersebut sejenak menghentak pembaca, bahwa pertemuan dua tokoh fiksi dunia dalam sebuah novel filsafat mengenai gagasan Marx tentang materialisme menjadi contoh menarik bahwa setelah lebih dari satu abad lamanya kaum proletar membalaskan dendamnya pada kaum borjuis hanya dengan sebatang korek api. Meskipun hanya beberapa halaman mengenai peristiwa itu dan hanya beberapa kalimat dialog mengenai hal tersebut, Gaardner menunjukkan reuni apik antara kapitalis dan komunis.

Sebenarnya pertemuan dua teks tersebut memiliki tujuan untuk menjelaskan secara kontras beda antara kaum borjuis dan kamu proletar, ataupun kapitalis dan komunis. Akan tetapi letak dikotomi yang ingin dibangun penulisanya dirasa sedikit tidak mengena saat pertemuan dua tokoh dunia, Scrooge dan Gadis Korek Api tersebut memiliki kesamaan satu dengan yang lainnya. Pertama, kedua tokoh tersebut adalah sama-sama seorang pedagang. Bedanya adalah deskripsi yang dibangun oleh penulis bahwa Scrooge adalah pedagang kaya sementara Gadis Korek Api merupakan pedagang miskin. Mereka dibedakan dengan tanda-tanda sepintas, yakni meja yang dimiliki oleh Scrooge, dan korek api yang dijual oleh gadis miskin yang digambarkan berpakaian compang-camping dan terlihat pucat. Pembaca digiring dengan tanda miskin dan kaya hanya berdasar pada deskripsi singkat, sementara melupakan bahwa keduanya adalah benar pemilik modal. Identifikasi yang dibangun oleh pengarang atau narator utama mengenai setting cerita pertemuan tokoh di hutan merepresentasikan nominal materi yang dimiliki keduanya, meskipun keduanya sama-sama berprofesi sebagai seorang pedagang, dengan tegas narator membedakan kedua tokoh tersebut dengan identifikasi kaya dan miskin. Kedua, dari deskripsi di atas narator kemudian memberikan golongan di antara keduanya, yakni kapitalis dan komunis, yang kemudian menjadi ilustrasi pembentukan ideologi masing-masing.

Pedagang Kaya Sombong dan Pedagang Miskin Lugu

Borjuis dan Proletar

Kendatipun kedua tokoh fiksi yang bertemu dalam sebuah bab Dunia Sophie mereka menjadi merepresentasikan dua golongan berbeda berdasarkan gambaran yang ditulis oleh Gaardner melalui Albert Knag selaku autor ke dua. Identifikasi atas borjuis dimiliki oleh Scrooge melalui deskripsi singkat kurang lebih lima paragraf, meskipun demikian, pembaca telah mengetahui background cerita melalui novela A Chrismas Carrol; Ebenezeer Scrooge seorang pengusaha kikir yang didatangi tiga roh partnernya yang menunjukan masa lampau, masa saat ini, dan masa depan Scrooge. Dari tiga pengalaman tersebut, Scrooge kemudian menyadari dirinya selama ini telah menjadi seorang yang tamak dan tidak memiliki jiwa sosial terhadap sesamanya. Setelah itu Scrooge berubah menjadi seorang pengusaha yang baik hati.

Jumat, 06 Mei 2016

Fiksi Populer

Untuk Gusman

Tanggal 2 Mei 2016, saya ditraktir nonton AADC 2 oleh seorang sahabat yang kebetulan mampir ke Jogja. Seperti kebanyakan penonton, sepulang nonton kami berbincang di kedai kopi pinggir jalan. Hal pertama yang menjadi testimoninya tentang film yang baru saja ditonton adalah “Keren, ya film seperti itu tidak mempermasalahkan tetek-bengek. Maksudnya, pas di satu adegan, kita bisa melihat bahwa Alya adalah seorang Kristen. Kebanyakan film Islam menyuguhkan banyak kesempurnaan. Kebaikan yang terlalu banyak ditonjolkan, dan melupakan bahwa sebenarnya manusia itu tidak begitu (sempurna).” Kurang lebih begitu dia bilang. Dia menanti jawabanku, aku tidak bisa berkata apapun, tetapi sejujurnya banyak yang berputar-putar di kepala.

Pertama, kita harus membedakan mana fiksi serius mana fiksi populer. Fiksi populer memberikan hiburan dan nilai eskapisme bagi pembaca/penontonnya. Mengangkat hal-hal yang tetek-bengek menjadi sebuah hal yang harus diseriusi. Katakanlah bahwa kemunafikan Cinta dalam AADC menjadi sebuah permasalahan serius dalam percintaan dan persahabatannya, sederhananya, jika Cinta tidak se-munafik itu mungkin cerita AADC tidak mungkin diangkat ke layar lebar. 

Kedua, peminat fiksi pop adalah orang-orang yang juga pop. Dan orang-orang pop ini adalah orang-orang yang malas memikirkan hal-hal serius. Ketiga, fiksi pop menghindari hal-hal serius semacam politik, sejarah, dan agama. Sederhananya, jika penonton dipaksa menonton tema-tema serius mereka lebih memilih masuk perpustakaan ketimbang ke bioskop.

Efek dari fiksi populer akan lebih besar lagi bagi penontonnya. Penonton atau pembaca pop akan lebih mudah menjadi seorang sosialis, apakah itu berbahaya? Jelas saja, pononton pop akan mudah terpengaruh oleh tontonannya, yang diciptakan oleh kelompok-kelompok tertentu yang menguasai ‘media’nya, penonton akan tertutup dengan wacana-wacana lain di luar ideologis tontonan/bacaannya. Itulah mengapa, penonton pop akan menjadi sosialis untuk bacaannya tapi individualis di luar bacaannya. Contohnya begini, penonton AADC akan merasa sangat simpati terhadap hubungan Cinta-Rangga, mereka jadi tidak lagi perlu memikirkan wacana perbedaan faham politik ataupun agama, kenapa? Karena itu tidak perlu dipikirkan, itu tidak mengibur malah menciptakan perpecahan. Ingat, peminat pop selalu menjungjung tinggi nilai C-I-N-T-A.

***

Selasa, 03 Mei 2016

Ada Apa Dengan Semua (Faktor) Kebetulan Di AADC 2?

Semenjak ditayangkan perdana di akhir April 2016, kehadiran sekuel Ada Apa Dengan Cinta? kembali membawa memori masa silam di tahun 2002. Ketika romantika remaja SMA dikemas dengan cerita sederhana sekaligus ekslusif melalui tokoh-tokoh menawan dan tema kelompok persahabatan (geng) dalam media film, tak ayal film-film yang sejajar tayang mulai tidak acuhkan, termasuk film-film box office. Tak perlu pertanyakan bagaimana bisa cerita sederhana tersebut begitu mengena di penontonnya, hingga kemudian mengekor film-film lain setelahnya, juga dalam sinetron dan novel, kisah-kisah anak-anak sekolah yang tidak hanya soal romantika, akan tetapi juga dibumbui kisah horor, detektif, hingga sejarah. Yang intinya adalah melibatkan remaja.
Bisa jadi, gerahnya penonton terhadap film-film klise superhero maupun tema yang dianggap terlalu dewasa bagi usia penontonnya sudah membuat jengah. Apalagi kebanyakan penonton adalah kawula muda. Dan tentu saja, hadirnya remaja sebagai tokoh utama mewakili identitas mereka untuk merasa eksis, setidaknya menyadarkan diri sendiri terhadap dunianya. Dan sungguh momen yang sangat tepat sekali untuk kembali ‘mempertanyakan’ cinta antara Rangga dan Cinta setelah 14 tahun mereka diombang-ambingkan kisah romansa klise yang tak selesai. Seolah, penonton juga menjadi saksi bisu yang dihantui cinta mereka yang mengambang tidak tuntas. Dan penonton yang kala itu remaja di tahun 2002, tentu telah beranjak dewasa dan ‘menginginkan’ kisah kasih yang sedikit serius, ketimbang melanjutkan kisah remaja ataupun masa mahasiswa.

Penonton kembali berduyun, ingin menuntaskan kisah lama yang menggebrak, diungkit kembali. Dan tentu saja, Rangga, Cinta, Maura, Carmen, dan Milly terkaget ketika nyatanya kisah ini hadir dan kembali memunculkan mereka yang telah dewasa dan beberapa telah menikah. Berbeda dengan kisah persahabatan Carrie Bradshaw dan kawan-kawan di Sex in The City, kisah AADC 2 memang disesuaikan dengan selera masa kini: dewasa namun tetap ketimuran, tepat dengan cerita-cerita drama Korea yang serupa. Di awal-awal cerita, penonton bertanya tentang keberadaan Alya yang tidak juga nampak hingga seperempat durasi film. Kenyataan pahit harus diterima Alya dengan kisah pilu dirinya ‘dimatikan’ dengan alasan kecelakaan jalan raya. Tentu saja, harus ada tokoh yang dikorbankan karena dalam persahabatan, lima orang terlalu ramai. Tidak terbayang bagaimana sulitnya merangkai kisah Alya dewasa, yang sebenarnya sudah dan paling dewasa diantara keempat sahabatnya meskipun masih remaja. Jadi dengan ‘keji’ tokoh Alya memang perlu dihilangkan, apapun alasannya, toh kisah Alya sudah menyedihkan dari awalnya.

Selasa, 26 April 2016

Review Buku “Novel Dan Film” Karya Pamusuk Eneste*

Judul Buku : Novel dan Film
Penulis : Pamusuk Eneste
Penerbit : Nusa Indah
Tahun : 1991
Tidak selalu novel yang difilmkan akan memuaskan. Setidaknya itu yang ingin disampaikan oleh Eneste dalam bukunya yang berjudul “Novel dan Film”. Hal tersebut nyatanya berdasar pada ketidakpuasan penulis—yang novelnya difilmkan dan ketidakpuasan penonton—yang menonton film berdasarkan novel. Oleh karenanya, Eneste kemudian membahas dengan seksama alasan ketidakpuasan dari kedua pihak yang menjadi faktor utama dari eksistensi novel dan film.
Sebagai bagian dari sastra, film tentu harus memuat nilai-nilai sastra itu sendiri; cerita, alur, penokohan, latar, suasana, gaya, tema/amanat. Terlebih ketika film tersebut berdasar dari novel. Maka ketujuh elemen penting tersebut haruslah mampu mewakili novel dasarnya, berbagai teknik dilakukan agar film mampu terwakili oleh beragam visual dan artistik, serta suara yang bisa semegah kata-kata penulis dalam novel. Dalam segi cerita, plastik material harus mampu mewakili kata-kata yang dimaksudkan oleh penulis, sorotan kamera harus mampu menjelaskan frame-frame yang bisa dimengerti oleh penonton. Alur menurut Eneste dibagi dua; alur tunggal dan alur ganda. Alur tunggal merupakan plot konvensional yang runut, sementara alur ganda memiliki kecendrungan dua atau lebih plot yang beragam dan menyatu setelahnya. Penokohan dalam film digambarkan melalui benda-benda di sekitarnya, sehingga penonton bisa mengetahui watak, tabiat, atau karakter tokoh hanya dengan melihat apa yang menjadi tanda melalui benda dan tokoh. Latar dalam film harus dihidupkan dengan adanya benda-benda serta suara dan sebisa mungkin menunjukkan asal suara tersebut berasal.

Suasana bagi Eneste merupakan faktor dominan keberhasilan sebuah karya untuk bisa mendapatkan apresiasi penonton maupun pembacanya. Dalam hal ini peran insting produser dan penulis sama-sama ditantang untuk menjadikan karya, baik novel maupun film, mampu menciptakan suasana yang ngeri, romantis, sedih, takut, dan sebagainya. Oleh karenanya, kegagalan dalam menciptakan suasana inilah yang lumrah terjadi dan diakhiri dengan kekecewaan. Gaya merupakan ciri khas tersendiri dalam segi sastra, gaya menjadi sebuah faktor penting bagaimana cerita mampu memikat pembaca/penonton. Setiap karya tentu memiliki tema atau amanat dalam cerita, alur, penokohan, gaya, dsb. Hal tersebut mendukung tujuan tersendiri dari karya, baik novel maupun film, agar memiliki tendensi yang mampu memengaruhi pemikiran pembaca/penontonnya.

Menurut Eneste (1991), ekranisasi merupakan sebuah proses perubahan dunia kata-kata menjadi dunia gambar-gambar yang bergerak berkelanjutan dan mengubah imaji/linguistik menjadi imaji visual. Hal tersebut memungkinkan untuk sebuah novel beraliwahana ke dalam bentuk film. Proses-proses yang demikian itulah yang nyatanya menimbulkan banyak kekecewaan, khususnya bagi penulis novel yang karyanya tersebut difilmkan. Salah satu wujud kekecewaan novelis adalah hilangnya tema atau amanat yang diunggulkan dalam novel, dan ketika beralihwahana ke dalam film, amanat tersebut berubah atau hilang sama sekali. Hal tersebut bukan tanpa alasan, film berbeda dengan novel yang di dalamnya memuat banyak sekali kosa kata dan bahasa yang sulit untuk dipadatkan ke dalam bentuk film yang berdurasi pendek (kurang lebih 2 jam). Oleh karena itulah, sulit untuk produser mengubah bentuk-bentuk tersebut hingga tampil sesuai keinginan novelis.

Pengurangan maupun penghilangan adegan dalam novel ketika difilmkan bukan hanya ciri khas dalam ekranisasi. Hal lain yang perlu dilihat adalah adanya tambahan maupun variasi yang diselipkan ke dalam setiap adegan film. Fungsinya adalah untuk mengganti kata-kata atau kiasan makna dalam novel yang tidak mampu dilakukan oleh film. Beberapa gagasan seperti ini menjadi sebuah inovasi dan kreasi, akan tetapi jika terlalu berlebihan dalam proses penambahan, akan terkesan berlebihan atau juga akan keluar dari orisinalitas novel. Inilah yang banyak membuat novelis kecewa ketika karyanya difilmkan. Terakhir menurut Eneste (1991), baik novel maupun film memiliki kaidah-kaidahnya tersendiri, sehingga akan tidak objektif ketika menilai keduanya sebagai bandingan baik-buruknya suatu karya sastra.

***


* Versi pdf tersedia di laman ini silakan unduh/ download free dan jangan lupa mengutip nama dan laman untuk menghindari plagiasi

Senin, 25 April 2016

Resensi Novel "Lafaz Cinta"

Judul       : Lapaz Cinta
Penulis      : Sinta Yudisia
Penerbit    : Mizania
Tahun      : 2007


Seyla memutuskan untuk belajar dan menekuni ilmu seni di Netherland setelah kehancuran hati yang dialaminya selepas Zen, tunangannya, memutuskan hubungan mereka karena dijodohkan oleh kedua orang tuanya kepada Lila. Di negara itulah, Seyla kemudian bertemu dengan Judith dan Barbara yang keduanya adalah seorang atheis, Ben dan Marko kedua karib yang ternyata adalah pasangan gay, Pangeran Karl dan Putri Constance yang dijodohkan karena kepentingan dua negara: Netherland dan Belanda.


Seiring kedekatan Seyla bersama teman-temannya tersebut, semakin dia terjerumus ke dalam konflik intern mereka. Judith dan Barbara menjauhinya karena melihat Seyla telah menjadi orang ketiga dalam kehidupan Pangeran Karl dan Putri Constance. Seyla tidak menampik perasaannya terhadap Pangeran Karl, terlebih setelah perhatian Pangeran terhadapnya yang dirasa berbeda. Semua gadis biasa memiliki angan-angan akan pangeran yang datang kepadanya seperti cerita-cerita di dalam dongeng, sisi lain di dalam dirinya merasakan hak istimewa untuk berharap Pangeran Karl akan lebih memilihnya daripada memilih Putri Constance, Seyla sudah terlalu berangan-angan tentang keajaiban kisah dongeng. Setelah dirinya sadar, Putri Constance yang telah menganggapnya sebagai teman dekat, menjauhinya dan menganggap Seyla sebagai saingan. Di situasi itulah Seyla membutuhkan teman berbagi, setelah Judith dan Barbara memusuhinya, Marko dan Ben tidak dapat membantu setelah mendapati diri mereka terkena HIV dan akan segera pindah ke Thailand.


Di situasi paling getir itulah, Seyla dekat dengan Saule dan Kareem Retorik, warga negara Chechnya yang menetap di Netherland bersama kedua anak angkat mereka, Asma dan Renata. Di komunitas De Gromiest, komunitas muslim di Netherland, Seyla tidak merasa sendiri di tanah rantauannya, dia bertemu dengan muslim-muslim lain, termasuk Arya dan Mahendra yang sama-sama dari Indonesia. Tidak disangka, acara De Gromiest yang diselenggarakan untuk mengenang momen-momen pembantaian umat muslim di dunia, termasuk diantaranya negara Saule, Chechnya, secara perlahan telah menyatukan dan menyelesaikan semua konflik yang mendera Seyla. Barbara yang menemukan hidayahnya untuk mengenal Islam, Marko yang tersentuh untuk kembali ke Netherland dan bergabung di De Gromiest, dan membuat Putri Constance kembali dekat dengan Seyla, dan membuat Seyla dengan ikhlas melepas perasaannya terhadap Pangeran Karl.


Namun, kepergian Saule beserta keluarganya ke Chechnya, membuat Seyla kembali kehilangan pegangan. Tetapi dengan ketiadaannya Saule yang selalu membantunya itulah yang membuat Seyla semakin ingin mengenal agamanya Islam. Seyla kemudian mulai sedikit demi sedikit menjadi muslimah seutuhnya. Bersama De Gromiest, Seyla menunaikan ibadah haji dan kembali dengan mendapatkan jodohnya setelah menerima pinangan teman satu komunitasnya di De Gromiest yang melamarnya setelah menyelesaikan ibadah haji. Seyla kemudian menerima lamaran Stepen Gaizauskaite dari Lithuania, yang enam bulan setelahnya menetap dan kembali ke Indonesia.

***

Resensi Novel "Izinkan Aku Bersujud"

Judul      : Izinkan Aku Bersujud
Penulis    : Tyas Effendi
Penerbit  : Mizania
Tahun     : 2009

Pertemuan Zevrin dengan Fathiya di sebuah rumah sakit swasta di Bandung merupakan awal perubahan hidup Zevrin. Zevrin adalah mahasiswi keperawatan yang tengah praktek, dia kemudian berkenalan dengan Syaddah dan anak angkatnya bernama Fathiya. Mereka berdua adalah warga negara Lebanon yang untuk sementara tinggal dan bertugas di Indonesia. Zevrin menemukan Fathiya ketika anak usia belasan tahun itu dirawat karena typus. Diantara tidurnya Fathiya seringkali menyebut nama Wahid, kakaknya, mereka terpisah karena perang yang terjadi di Lebanon. Dari pertemuannya itu, Zevrin dan Fathiya menjadi dekat, dan Fathiya menganggap Zevrin sebagai saudarinya.

Karena kesibukan Syaddah, maka Fathiya lebih lama menghabiskan hari-harinya bersama Zevrin. Zevrin seringkali menemukan perahu kertas di lacinya, yang mengingatkannya kembali kepada cintanya pada Arviga. Di masa lalu, Zevrin dan Arviga kerap membuat perahu kertas dan melepaskannya di Sungai Musi. Kenangan-kenangan itu yang membuat Zevrin kemudian mengingat akan janji mereka untuk kembali bertemu.

Di sela waktu-waktunya bersama Fathiya, Zevrin mengenal kehidupan tragis di Lebanon melalui tulisan-tulisan Fathiya di catatan lusuhnya. Serangan dan penderitaan, hingga pengungsian yang dialami oleh Fathiya beserta keluarganya menjadi penderitaan warga Lebanon lainnya. Dari kepolosan Fathiya, Zevrin mengenal Islam dan mulai memperbaiki hidupnya dengan mulai memakai hijab dan membaca Al-Quran. Hingga pada suatu hari, Zevrin telah menyelesaikan kuliahnya dan kembali ke Palembang, dia menemukan bahwa yang selama ini membuat perahu kertas yang ada di lacinya adalah Fathiya.

Zevrin kembali bertemu dengan Arviga di Palembang, ketika cinta mereka kembali bersemi dan hampir menuju ke pelaminan, Fathiya muncul kembali di hadapan Zevrin menjadi sosok pemuda yang telah banyak berubah. Dan saat itu pula, Fathiya mengungkapkan perasaannya pada Zevrin bahwa cintanya bukan sebagai seorang adik pada kakak. Zevrin yang merasa bahwa perbedaan umur mereka yang terlampau jauh membuat Zevrin menganggap bahwa perasaan cinta Fathiya padanya hanyalah kesalahpahaman. Zevrin merasa hancur dan makin terpuruk ketika Arviga memutuskan hubungan mereka karena telah merasakan perasaan Fathiya terhadap Zevrin.

Merasa keterpurukan menimpanya, Zevrin kemudian memilih bertugas di Lebanon dan mengabdikan hidupnya di wilayah konflik tersebut. Tanpa disengaja, Zevrin bertemu Wahid Assegaf, kakak Fathiya yang sedang dicari-cari oleh adiknya tersebut. Setelah pertemuannya dengan Wahid, giliran Zevrin yang mencari Fathiya yang kabarnya tidak diketahui lagi setelah kemarahan Zevrin padanya. Tak berapa lama Zevrin, Wahid, dan Fathiya bertemu kembali di Jounieh, dan kebersamaan mereka membuat mereka merasa sebagai sebuah keluarga, perjalanan-perjalanan dan waktu yang memutuskan kebersamaan antara Zevrin dan Fathiya ternyata yang menyadarkan mereka bahwa mereka saling mencintai.

***

Resensi Novel "Dari Jendela Hauzah"

Judul       : Dari Jendela Hauzah
Penulis     : Otong Sulaeman
Penerbit   : Mizania
Tahun      : 2010

Cerita ini dipenggal melalui dua narasi plot yang terpisah dan dipertemukan di beberapa bab terakhir; cerita Asep seorang santri Hauzah yang berasal dari Indonesia yang belajar di Qum – Iran; dan Dewa Darmawangsa serta Daniel Nikbakht seorang Yahudi Iran yang mengalami insiden, ketika liburan bersama keluarganya di Bali – Indonesia.

Setelah cintanya kandas karena Asep lebih memilih melanjukan studinya di Iran dan ayah Alifia, kekasihnya, murka dan meminta Asep memutuskan hubungannya dengan Alifia, tidak menghentikan niatnya untuk mendalami Islam di kampus Hauzah yang terkenal tersebut. Di sela kegundahannya pada hubungannya bersama Alifia, Asep menemukan banyak hal dan peristiwa selama dirinya belajar ilmu Islam di Iran. Asep menemukan budaya Iran yang sangat indah dan tentram, dia bertemu banyak orang dari berbagai negara, seperti Thailand, Malaysia, Myanmar, Cina, juga Philipina, meskipun demikian kelompok asal Indonesia tetap menjadi sahabat terpercaya Asep dalam menempuh studinya.

Gagasan-gagasan Islam kemudian menjadi kajian sering dibahas dalam studinya. Adalah Syeikh Abdullah yang menjadi dosen mata kuliah Aqidah dan juga seorang kepala asrama yang difavoritkan oleh santri-santri dari keseluruhan negara. Dari Syeikh Abdullah, Asep dan santri-santri yang lainnya mengenal tentang keberadaan agama, pemikiran kritis tentang gagasan-gagasan Barat/Eropa, serta wacana-wacana pemikiran tentang keruntuhan Iran sendiri. Syeikh Abdullah sangat mengagumi Murthada Muthahhari, seorang filsuf terkemuka Islam yang sangat cerdas dengan bantahannya terhadap wacana filsafat barat, meskipun dengan segala ketegasaannya, Muthahari dipandang sebagai sosok yang sangat sederhana dan bersahaja. Maka Pantaslah bagi masyarakat Iran, sosok tersebut sangat dikagumi dan memengaruhi pandangan masyarakat Iran terhadap Amerika.

Dari kisah Asep, seorang santri sederhana di Hauzah, banyak hal-hal yang dinarasikan sangat apik tentang Hauzah, Negara Islam Iran, dan masyarakatnya yang sebagian adalah keturunan Yahudi. Selain itu permasalahan-permasalahan yang melanda Asep dan teman-temannya selalu disolusikan secara Islami dan penuh hikmah. Termasuk diantaranya tentang surat-surat Alifia yang selama beberapa saat menghantui Asep, di surat terakhir berasal dari Ayah Alifia yang mengabarkan bahwa Alifia sudah meninggal dunia. Surat-surat tersebut dibaca Asep setelah melakukan nazar untuk tidak membuka surat-surat Alifia sebelum menyelesaikan semesternya. Dengan rasa ikhlas, Asep melepaskan Alifia dan mendoakannya.

Dewa dan Daniel bukanlah teman lama, mereka dipertemukan pada liburan-bisnis keluarga. Mereka akrab karena sama-sama bakal penerus perusahan besar di masing-masing negaranya. Anehnya, mereka punya kehidupan yang bersilangan: Dewa adalah warga negara Indonesia yang tidak memiliki kepercayaan terhadap agama dan memiliki kekasih seorang model terkenal, sementara Daniel adalah seorang keturunan Iran Yahudi yang tertarik mendalami Islam setelah kedekatannya dengan Wafa, gadis Lebanon muslimah yang menutup tubuhnya dari aurat. Ketika di Kuta, terjadi peristiwa pengeboman oleh teroris yang menimbulkan banyak korban termasuk kedua orang tua Dewa dan Daniel.

Dewa yang terpuruk atas kematian kedua orangtuanya tersebut, frustasi dan menutup dirinya terhadap dunia. Sementara Dewa mengutuk hidupnya sendiri, Daniel malah menjadi terdakwa dan dituduh menjadi biang keladi atas tragedi Bom Bali yang menewaskan kedua orangtuanya. Di saat Daniel membutuhkan bantuan Dewa, Dewa sama sekali hilang dari muka bumi. Hingga pada akhirnya, Dewa mengetahui kondisi Daniel dan segera menyusulnya ke Teheran, Iran. Di Kota Teheran, Dewa menemukan banyak fakta tentang pemimpin Iran, Khemenei, yang menjadi pujaan rakyat-rakyatnya, dan bahkan diantara perjalanan menuju Penjara Evin, Dewa semakin menemukan kebenaran tentang konflik besar yang membuat Daniel terancam kena hukuman gantung, yakni terorisme yang selalu dituduhkan kepada kaum muslim. Selain itu, dari Mohsen, kepala polisi yang menangani kasus Daniel, Dewa banyak mengenal Islam. Kemudian Dewa dibantu Asep untuk menyelesaikan masalah Daniel di Teheran atas informasi Syeikh Abdullah yang memercayakan Asep sebagai santri Hauzah asal Indonesia.

***

Resensi Novel "Alena"

Judul      : Alena, Selubung Cinta di Muzdalifah
Penulis     : Ifa Avianty
Penerbit   : Mizania
Tahun     : 2009

Bagi Alena, cinta adalah hal yang paling penting, itu menjadi prioritas munajatnya ketika dirinya melaksanakan ibadah haji, dirinya ingin dipertemukan dengan jodohnya. Meskipun, Haikal telah menjadi tunangannya, dan menantinya dengan setia di akhir perjalanan spiritualnya itu, Alena merasa bahwa Haikal tidak dia cintai sepenuhnya. Meskipun mereka adalah pasangan yang serasi ketika SMA, dipertemukan kembali setelah lama tidak bertemu ketika keduanya telah saling sukses dalam berkarir.

Dalam rombongan hajinya, Alena dipertemukan dengan banyak orang, termasuk Khaidir, seorang guide haji yang berasal dari Arab. Alena berusaha untuk tetap istiqomah terhadap pertunangannya dengan Haikal, meskipun hati kecilnya merasakan ketertarikannya pada Khaidir. Dalam perjalan menunaikan ibadahnya, diam-diam Alena memanjatkan doa untuk mencari jawaban atas jodohnya, antara Haikal atau Khaidir. Keteguhannya terhadap ibadah dan konflik perasaannya terhadap dua lelaki yang dicintainya membuat sedikit kebimbangan dalam dirinya. Diantara gejolak perasaannya, dirinya diingatkan pada pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh Islam untuk meneguhkan keimanannya.

Dalam kesungguhannya, dirinya merasakan kerinduan pada Haikal untuk tetap mencintai dan dengan sabar menerima Haikal sebagai calon suaminya kelak saat pulang ke tanah air. Dan di saat itu pula, Alena mengikhlaskan perasaannya terhadap Khaidir dan meneguhkan hati pada Haikal dan berniat mencintainya sepenuh hati, sebagai seorang perempuan yang setia pada orang yang menantinya. Akan tetapi, peristiwa tidak terduga ternyata di alami oleh Alena ketika dirinya pulang dan bertemu dengan Haikal, Haikal sendiri yang memutuskan untuk mengakhiri pertunangannya dengan Alena karena Haikal merasa bahwa Alena akan lebih bahagia tanpa dirinya.

Merasa bahwa cintanya terhadap Haikal dipadamkan ketika cintanya mulai berkobar, Alena merasa terpuruk dan membuatnya membenci Haikal. Terlebih bahwa Alena merasa bahwa dirinya sudah berkorban banyak untuk Haikal dengan lebih memilih Haikal ketimbang Khaidir. Alena merasakan kepedihan dan amarah yang memuncak ketika beberapa tahun kemudian dirinya melihat Haikal akan menikahi perempuan lain. Tak berapa lama, dirinya kembali dipertemukan dengan Khaidir di suatu acara. Dia menemukan bahwa Khaidir dipanggil abi oleh seorang anak. Alena lari menangisi kegagalan kedua cintanya, dan menganggap bahwa semua hal yang dia nanti selama ini adalah sebuah kesia-siaan. Yang terjadi ternyata adanya kesalahpahaman antara Khaidir dan Alena, yang saat itu kenyataan diluruskan oleh Khaidir bahwa dirinya belum menikah, dan saat itu pula Khaidir melamar Alena.

***

Resensi Novel "Surat Panjang Tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya"

Judul      :Surat Panjang Tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya
Penulis     : Dewi Kharisma Michellia
Penerbit   : Gramedia
Tahun     : 2013

Bundelan 37 surat beserta keping CD yang telah ditranskrip, dikirim oleh seseorang tanpa nama pada seorang pria di Agustus 2013. Catatan pengirim menyatakan bahwa surat-surat tersebut ditujukan pada pria tersebut dan telah ditulis ulang oleh seorang anak pemilik toko buku dimana surat-surat itu didapat dan pada akhirnya bisa dikirim kepada yang dituju.

Surat-surat itu diawali di 23 Juli 2008 dan berakhir di surat yang tercantum tanggal 26 Juni 2011. Surat-surat panjang tersebut merupakan kisah seorang reporter wanita keturunan Bali-Bima yang tinggal di Ibukota. Di dalamnya tidak hanya memuat perjalanan cintanya yang getir, tetapi juga pandangannya terhadap kehidupan sosial, politik, serta budaya Indonesia.

Pria yang dituju dalam surat dialiaskan dengan nama Tuan Alien adalah cinta pertama sang penulis surat. Padanya si penulis tersebut menceritakan kegelisahannya, termasuk rasa sedihnya ketika dirinya mendapatkan surat undangan pernikahan Tuan Alien dengan seorang selebritis yang juga penulis best seller. Awalnya surat tersebut hanya sampai tanggal 30 Juli 2011, yang merupakan hari pernikahan Tuan Alien. Akan tetapi, surat-surat tersebut dibatalkan untuk diberikan sebagai kejutan pernikahan, dan atas saran Tuan Pemilik Toko-sahabatnya, surat-surat tersebut baiknya dilanjutkan ditulis.

Pesta pernikahan di Bali tersebut kemudian menjadi napak-tilas memori sang penulis terhadap kehidupan masa lalunya yang rumit. Di Bali itulah dia menjelajahi tempatnya dibesarkan sebelum kemudian pindah ke Bima bersama kakak-kakaknya di rumah neneknya, meninggalkan ibu yang kesepian di Bali. Di sanalah dia menemukan cinta-cinta yang ditinggalkan dan diabaikannya selama ini, dari mulai keluarga hingga pria yang katanya rela menantinya hingga mati. Hingga dia kembali ke Jakarta, dirinya menemukan bahwa dia sendiri dan terasing di usianya yang keempat puluh tahun. Dari sanalah kemudian dia mulai membuka hatinya untuk menerima comblangan Nyonya Pemred pada seorang seniman yang bisa membuatnya jatuh cinta dan menemukan kembali kepingan kehidupannya yang dianggapnya telah remuk. Kekasihnya itu mengenalkannya pada keindahan Yogyakarta hingga mampu membuka kepedihan ibu si penulis terhadap kesendiriannya. 

Dalam suratnya di 16 Februari 2009, dirinya menemukan kondisi kesehatannya mulai menurun. Terlebih kekasihnya pergi untuk tur orkestra ke Jerman. Dan setelah itu, barulah segala kebahagiaan yang baru saja dirasakannya perlahan kembali luntur dan terenggut; dirinya difonis kanker; dan kekasihnya diam-diam menghamili anak didiknya sendiri saat di Jerman. Hanya Tuan Pemilik Toko dan anaknya yang menemaninya di kondisi-kondisi terakhirnya. Dan surat-surat yang dia mampu tuliskan berakhir di 26 Juni 2011.

Hingga pada akhirnya seseorang tanpa nama kemudian berinisiatif mengirimkan surat-surat tersebut kepada tujuannya: Tuan Alien. Di bagian sampul buku belakang, adalah jawaban bagaimana nasib surat-surat itu kemudian.

***

Jumat, 15 April 2016

Kebon Binatang Di Dalam Kampus Yang Mengharu Biru

Bonbin. Semua tahu itu adalah kebon binatang. Tetapi di sini, tidak akan dibahas taman rekreasi yang isinya penuh oleh aneka satwa. Bagi yang pernah menginjakkan kaki di Kampus Bulaksumur, tempat ini akan identik dengan sebuah kantin biasa yang letaknya diapit oleh dua fakultas; Ilmu Budaya dan Psikologi.
Kemudian apa yang membuatnya istimewa dibanding kantin-kantin lainnya? Terlebih jika melihat di kalangan kaum muda, café-café telah menjadi bagian hidup masyarakat urban kekinian. Iya. Bonbin memang Kebon Binatang, bedanya hanya ada sedikit binatang di sana; serangga, cicak, dan kucing. Jika melihat fungsinya, Bonbin tak lebih dari sebuah kantin yang di dalamnya menjual makanan penghilang lapar dan dahaga. Dengan membawa uang seribupun, pengunjung bisa mendapatkan makanan maupun minuman. Atau jikalau pengunjung kere sekalipun, setidaknya bisa makan tanpa bayar dari kebaikan hati pedagang-pedagangnya. Bangunannya hanya dilindungi seng yang akan menaikan suhu jika cuaca panas dan menimbulkan suara berisik rintik hujan jika musim penghujan. Tidak ada steak, es krim, sop buntut, apalagi pizza, hanya nasi dan sayur mayur, siomay atau batagor, kwetiau hingga tahu gimbal. Jangan tanya soal rasa, yang datang bukan untuk memanjakan lidah, mereka di sana untuk membungkam bunyi perut yang kelaparan, dan mengguyur tenggrokan yang kering kehausan.

Lalu apa yang istimewa dari Bonbin ini? Tulisan ini pun tidak bermaksud melebih-lebihkan Bonbin, tidak pula untuk menjatuhkan namanya. Sekali lagi, ini hanya KANTIN BIASA yang isi penghuninya bukan hanya mahasiswa, ada kuli bangunan hingga professor makan di sana. Dalam satu atap yang sama, mereka menunjukkan satu kesamaan bahwa mereka manusia biasa, yang ketika lapar dan dahaga, mereka bernaung di bawah seng yang sama, makan makanan yang sama, duduk di bangku dan meja yang sama. Pengunjung jenis apapun bisa di sana dari pagi buta hingga malam merayap, tanpa ada yang bertanya, “Kamu siapa?”.

Kantin pula adalah sebuah mata pencaharian. Maka Bonbin pun adalah sebuah pertemuan transaksional seperti badan usaha lainnya. Ada penjual ada pembeli. Ada ada produsen ada konsumen. Mahasiswa belajar mendapatkan pundi-pundinya, dengan menitipkan barang dagangannya di salah satu kios di Bonbin. Tidak hanya manusia, akan banyak terlihat kucing berkeliaran di sana, yang sama-sama mempertahankan hidupnya; mencari makanan sisa atau dapat sepotong daging dari belas kasihan manusia.

Café berkelas akan banyak ditemukan di dalamnya manusia-manusia kekinian. Yang datang dengan wewangian dan pakaian paling masa kini. Sepatu mengkilap dengan tas merk terkenal. Dan yang paling hina ketika datang ke sebuah café tersebut adalah jika lupa membawa gadget, yang ada kameranya tentu. Karena tujuan ke sana adalah menunjukan pada dunia bahwa I WAS HERE. Tidak perlu berisik dengan perbincangan hangat, cukup bercakap melalui sosmed dengan teman di seberang meja. Dan jangan datang ke sebuah café tanpa wifi, akan rugi rasanya membayar mahal tanpa men-share keberadaan dengan kuota sendiri.

Tidak. Bonbin menjamin tidak akan ditemukan manusia semacam di atas. Bangku usang dengan bau asap rokok merajalela, makan di samping tempat sampah, dengan hilir mudik manusia-manusia yang mungkin saja datang belum mandi. Tak perlu sepatu mahal untuk datang ke Bonbin, jangankan sandal jepit, tidak beralaspun, orang-orang di sana tidak akan bertanya karena mereka yang datang belum tentu merasa rapi. Di balik bangku usang dan bau apek rambut gimbal dan jabrik, mahasiswi-mahasiswi berkaus lusuh dengan make-up luntur karena keringat, atau pegawai-pegawai yang datang terbirit hanya sekedar untuk merokok di sela istirahatnya, adalah ciri khas Bonbin yang membuatnya berbeda dengan kantin lain di sekitar kampus.

Duduklah di bangku manapun, akan ditemukan perbincangan panas mengenai isu dunia, yang keluar bersama asap-asap rokok yang mengepul. Dari secangkir kopi panas seharga dua ribu rupiah. Kita tidak akan pernah tahu siapa yang duduk di sana, yang nantinya mungkin akan memimpin Indonesia yang pernah menjadi mahasiswa lusuh yang hanya punya uang lima ribu di sakunya. Perempuan-perempuan cantik di luar sana, berdandan elok menghabiskan ratusan ribu untuk secangkir kopi untuk selfie cantik, dan merelakan waktunya untuk membicangkan harga bedak, harga beras, harga panci, atau harga popok. Perempuan kusam di Bonbin sana, memahami budaya populer semacam itu. Dan mereka merelakan waktu untuk memahami dunia dengan membicarakan Said, Bourdieu, hingga Marxis. Jangan tanya akses wifi yang naik turun jika berada di Bonbin. Karena pengunjungnya tak peduli. Ketika manusia-manusia kekinian di luar sana membayar mahal untuk men-share dirinya pada dunia. Di Bonbin sana, kau akan berbincang langsung dengan manusia-manusia dari Sabang hingga Merauke. Dari Belanda hingga Korea. Semua pengunjungnya akan membayar dengan harga yang sama. Mencicipi makanan dan minuman yang sama dengan mahasiswa lainnya, dengan kuli, pegawai, dosen hingga professor sekalipun.

Bonbin adalah kantin lusuh. Yang sama sekali tidak cantik. Ibarat bercak jerawat di wajah yang harus disingkirkan. Atau dipindahkan. Sejauh mungkin. Lalu siapa yang akan berteriak? Tentu saja manusia-manusia tadi, atau jikalau mungkin bisa, termasuk kucing-kucing penghuninya. Di mana akan ditemukan tempat murah untuk makan dan minum, untuk istirahat merokok, berbincang menggunakan verbal bukan teks yang dikirim dengan kuota? Kemana mahasiswa-mahasiswa revolusioner bisa mendiskusikan pemikiran muda mereka? Bagaimana caranya para kuli dan buruh beristirahat minum makan dan merokok dengan uang sepuluh ribunya? Apakah ada tempat di mana seorang mahasiswa bisa duduk satu meja dengan dosennya, bercengkrama tanpa merasa ada sekat ruang kelas yang membelenggu mereka? Jangan tanya nasib mata pencaharian pedagang serta mahasiswa yang berwirausaha kecil-kecilan nantinya karena dunia sedang sibuk memikirkan bagaimana tampil selfie cantik di jejaring sosial, tentu dengan kuota. Berteriak semampu dan sebisa mungkin jika keadaan menekan adalah hal yang wajar. Ibarat kucing Bonbin yang tak bisa menyuarakan nasibnya, yang berteriak pun bingung mesti teriak pada siapa.


Jangan terlalu terbebani dengan kasus Bonbin ini. Bonbin hanya kantin biasa. Sekali lagi. Layaknya kehidupan, semua ada awal dan akhirnya. Seperti roda sepeda yang sedang disosialisasikan sebagai kendaraan alternatif pengurang lahan parkir di Kampus Bulaksumur. Gunakanlah agar polusi udara tidak melunturkan birunya kampus biru. Agar sehat jasmani penggunanya seimbang dengan keindahan masjid di kampusnya yang menyehatkan rohaninya. Jika masih bersikeras menggunakan motor, resiko mencari lahan parkir seharian akan dirasakan, terlebih setelah diratakannya area parkir di fakultas berbudaya.Gunakanlah sepeda, tidak sulit bukan? Harganya juga tidak seberapa. Tidak perlu uang bensin. Cukup siapkan air putih satu galon jika sanggup karena udara dan cuaca di Jogja sedang panas-panasnya. Terlebih dengan proyek-proyek pencakar langitnya, bangunan ratusan jendela dan lantai yang bertingkat-tingkat. Mesin-mesin bising yang mengganggu perkuliahan. Gunakanlah sepeda. Sekali lagi. Meskipun lajunya tidak secepat kendaraan-kendaraan proyek yang lalu-lalang. Apa sulitnya menggunakan sepeda? Setidaknya bisa menyeimbangkan udara yang sedang dicemari proyek-proyek daripada asap rokok dan asap knalpot yang katanya lebih berbahaya untuk manusia.

***

Minggu, 31 Januari 2016

Selfie, Media, dan Nilai Ideologis

Ini diawali dengan maraknya penyerangan terhadap budaya populer yang saat ini tengah marak melalui jejaring sosial (baca: sosmed) disebabkan kecanggihan informasi dan teknologi.
Akhir-akhir ini pembaca berita akan dibuat miris dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi dengan tagline SELFIE. Dari masyarakat sipil hingga pejabat sekelas Barack Obama pernah diberitakan dengan tema serupa. Akan tetapi, pembaca akan dibawa pada sebuah gagasan bahwa selfie merupakan sebuah aktivitas yang tidak beretika.

Jadi, narasi seperti "selfi harus tahu situasi dan kondisi" menjadi sebuah landasan utama bahwa aktivitas memotret diri sendiri harus melihat konteks. Akan tetapi, konteks seperti apa yang tepat untuk menggunakan selfie agar tepat penggunaannya, sampai saat ini belum ditemukan fungsi yang bisa diterima secara fair. Belum lagi pemberitaan terhadap bahaya selfie di Indonesia menjadi sebuah momok masyarakat yang disorot sebagai aktivitas mengancam dan berlebihan. Ambillah contoh, berita belakangan ini tentang remaja yang gila selfie menginjak bunga, atau yang diberitakan lebih parah adalah ketika selfie telah merenggut nyawa dua mahasiswa di Jakarta, atau juga di Gunung Merapi Yogyakarta.

Sabtu, 30 Januari 2016

Kekuatan Bahasa dalam Teks: Membaca “The Catcher in The Rye” Karya JD Salinger

Tulisan ini mungkin terlambat 70 tahun lebih lamanya. Meskipun, membuka teks-teks dalam The Catcher in The Rye di masa ini akan berbeda ketika membaca di masanya (baca: periode 50-an). Jika membaca novel tersebut dalam versi Bahasa, maka muncul pertanyaan apa bahayanya novel yang telah mengilhami Chapman untuk membunuh John Lennon atau juga judul tersebut menginspirasi Gun N’ Roses untuk mempopulerkan lagu dengan judul yang sama, serta sederet aliwahana lainnya yang didasari oleh novel karya J.D Salinger tersebut.


Holden Caulfiled, seorang remaja yang dikeluarkan dari sekolah populer Pencey memutuskan untuk tidak menunggu hingga Rabu untuk pulang ke rumahnya di New York. Maka pada hari Sabtu, setelah mendengar bahwa Stradlater, teman sekamarnya baru pulang dari kencan dengan sahabat masa kecilnya, Jane, Holden dengan emosi memuncak berkemas dan berangkat menuju New York. Holden menggunakan waktu tiga hari-nya untuk menceritakan semua pikiran dan perasaannya ke dalam bahasa dan pikiran orisinal khas remaja. Diceritakan bahwa Holden menggunakan waktu-waktu tersebut untuk tidak langsung pulang ke rumahnya, tetapi berkeliling New York tanpa sepengetahuan keluarga maupun orang-orang yang dikenalnya.

Ilmu Merusak Ideologi. Benarkah?

Akan saya awali blog ini dengan kata-kata Pierre Macherey (1966) bahwa "Ilmu merusak ideologi". Kurang lebih, Macherey melihat bahwa dengan ilmu, pembaca mampu melihat jauh tatanan ideologi serta paham akan posisi dirinya dan yang lebih berbahaya adalah dengan ilmu, segala macam bentuk ideologi akan dapat dinampakkan.

Saya hanya menyambut blog ini sebagai sebuah wadah ekspresi terhadap apa yang saya lihat. Berusaha memahami pula bahwa hakikat ilmu adalah berendah hati dan mengoreksi diri karena tidak semua hal mampu kita ketahui di dunia ini (Suriasumantri, 2001). Dan dengan mengaitkan kedua gagasan pemikiran di atas, semoga blog ini bisa dibaca dan dipahami.

Membaca memang berbahaya, tetapi bukan berarti yang bahaya itu harus dihindari. Bahaya adalah tantangan. Hanya orang yang berani yang mau membaca, dan tentu menyelesaikan bacaannya.

Yeyeyeye, mulai membacalah :)