Bonbin. Semua tahu itu adalah kebon binatang. Tetapi di sini, tidak akan dibahas taman rekreasi yang isinya penuh oleh aneka satwa. Bagi yang pernah menginjakkan kaki di Kampus Bulaksumur, tempat ini akan identik dengan sebuah kantin biasa yang letaknya diapit oleh dua fakultas; Ilmu Budaya dan Psikologi.
Kemudian apa yang membuatnya istimewa dibanding kantin-kantin lainnya? Terlebih jika melihat di kalangan kaum muda, café-café telah menjadi bagian hidup masyarakat urban kekinian. Iya. Bonbin memang Kebon Binatang, bedanya hanya ada sedikit binatang di sana; serangga, cicak, dan kucing. Jika melihat fungsinya, Bonbin tak lebih dari sebuah kantin yang di dalamnya menjual makanan penghilang lapar dan dahaga. Dengan membawa uang seribupun, pengunjung bisa mendapatkan makanan maupun minuman. Atau jikalau pengunjung kere sekalipun, setidaknya bisa makan tanpa bayar dari kebaikan hati pedagang-pedagangnya. Bangunannya hanya dilindungi seng yang akan menaikan suhu jika cuaca panas dan menimbulkan suara berisik rintik hujan jika musim penghujan. Tidak ada steak, es krim, sop buntut, apalagi pizza, hanya nasi dan sayur mayur, siomay atau batagor, kwetiau hingga tahu gimbal. Jangan tanya soal rasa, yang datang bukan untuk memanjakan lidah, mereka di sana untuk membungkam bunyi perut yang kelaparan, dan mengguyur tenggrokan yang kering kehausan.
Lalu apa yang istimewa dari Bonbin ini? Tulisan ini pun tidak bermaksud melebih-lebihkan Bonbin, tidak pula untuk menjatuhkan namanya. Sekali lagi, ini hanya KANTIN BIASA yang isi penghuninya bukan hanya mahasiswa, ada kuli bangunan hingga professor makan di sana. Dalam satu atap yang sama, mereka menunjukkan satu kesamaan bahwa mereka manusia biasa, yang ketika lapar dan dahaga, mereka bernaung di bawah seng yang sama, makan makanan yang sama, duduk di bangku dan meja yang sama. Pengunjung jenis apapun bisa di sana dari pagi buta hingga malam merayap, tanpa ada yang bertanya, “Kamu siapa?”.
Kantin pula adalah sebuah mata pencaharian. Maka Bonbin pun adalah sebuah pertemuan transaksional seperti badan usaha lainnya. Ada penjual ada pembeli. Ada ada produsen ada konsumen. Mahasiswa belajar mendapatkan pundi-pundinya, dengan menitipkan barang dagangannya di salah satu kios di Bonbin. Tidak hanya manusia, akan banyak terlihat kucing berkeliaran di sana, yang sama-sama mempertahankan hidupnya; mencari makanan sisa atau dapat sepotong daging dari belas kasihan manusia.
Café berkelas akan banyak ditemukan di dalamnya manusia-manusia kekinian. Yang datang dengan wewangian dan pakaian paling masa kini. Sepatu mengkilap dengan tas merk terkenal. Dan yang paling hina ketika datang ke sebuah café tersebut adalah jika lupa membawa gadget, yang ada kameranya tentu. Karena tujuan ke sana adalah menunjukan pada dunia bahwa I WAS HERE. Tidak perlu berisik dengan perbincangan hangat, cukup bercakap melalui sosmed dengan teman di seberang meja. Dan jangan datang ke sebuah café tanpa wifi, akan rugi rasanya membayar mahal tanpa men-share keberadaan dengan kuota sendiri.
Tidak. Bonbin menjamin tidak akan ditemukan manusia semacam di atas. Bangku usang dengan bau asap rokok merajalela, makan di samping tempat sampah, dengan hilir mudik manusia-manusia yang mungkin saja datang belum mandi. Tak perlu sepatu mahal untuk datang ke Bonbin, jangankan sandal jepit, tidak beralaspun, orang-orang di sana tidak akan bertanya karena mereka yang datang belum tentu merasa rapi. Di balik bangku usang dan bau apek rambut gimbal dan jabrik, mahasiswi-mahasiswi berkaus lusuh dengan make-up luntur karena keringat, atau pegawai-pegawai yang datang terbirit hanya sekedar untuk merokok di sela istirahatnya, adalah ciri khas Bonbin yang membuatnya berbeda dengan kantin lain di sekitar kampus.
Duduklah di bangku manapun, akan ditemukan perbincangan panas mengenai isu dunia, yang keluar bersama asap-asap rokok yang mengepul. Dari secangkir kopi panas seharga dua ribu rupiah. Kita tidak akan pernah tahu siapa yang duduk di sana, yang nantinya mungkin akan memimpin Indonesia yang pernah menjadi mahasiswa lusuh yang hanya punya uang lima ribu di sakunya. Perempuan-perempuan cantik di luar sana, berdandan elok menghabiskan ratusan ribu untuk secangkir kopi untuk selfie cantik, dan merelakan waktunya untuk membicangkan harga bedak, harga beras, harga panci, atau harga popok. Perempuan kusam di Bonbin sana, memahami budaya populer semacam itu. Dan mereka merelakan waktu untuk memahami dunia dengan membicarakan Said, Bourdieu, hingga Marxis. Jangan tanya akses wifi yang naik turun jika berada di Bonbin. Karena pengunjungnya tak peduli. Ketika manusia-manusia kekinian di luar sana membayar mahal untuk men-share dirinya pada dunia. Di Bonbin sana, kau akan berbincang langsung dengan manusia-manusia dari Sabang hingga Merauke. Dari Belanda hingga Korea. Semua pengunjungnya akan membayar dengan harga yang sama. Mencicipi makanan dan minuman yang sama dengan mahasiswa lainnya, dengan kuli, pegawai, dosen hingga professor sekalipun.
Bonbin adalah kantin lusuh. Yang sama sekali tidak cantik. Ibarat bercak jerawat di wajah yang harus disingkirkan. Atau dipindahkan. Sejauh mungkin. Lalu siapa yang akan berteriak? Tentu saja manusia-manusia tadi, atau jikalau mungkin bisa, termasuk kucing-kucing penghuninya. Di mana akan ditemukan tempat murah untuk makan dan minum, untuk istirahat merokok, berbincang menggunakan verbal bukan teks yang dikirim dengan kuota? Kemana mahasiswa-mahasiswa revolusioner bisa mendiskusikan pemikiran muda mereka? Bagaimana caranya para kuli dan buruh beristirahat minum makan dan merokok dengan uang sepuluh ribunya? Apakah ada tempat di mana seorang mahasiswa bisa duduk satu meja dengan dosennya, bercengkrama tanpa merasa ada sekat ruang kelas yang membelenggu mereka? Jangan tanya nasib mata pencaharian pedagang serta mahasiswa yang berwirausaha kecil-kecilan nantinya karena dunia sedang sibuk memikirkan bagaimana tampil selfie cantik di jejaring sosial, tentu dengan kuota. Berteriak semampu dan sebisa mungkin jika keadaan menekan adalah hal yang wajar. Ibarat kucing Bonbin yang tak bisa menyuarakan nasibnya, yang berteriak pun bingung mesti teriak pada siapa.
Jangan terlalu terbebani dengan kasus Bonbin ini. Bonbin hanya kantin biasa. Sekali lagi. Layaknya kehidupan, semua ada awal dan akhirnya. Seperti roda sepeda yang sedang disosialisasikan sebagai kendaraan alternatif pengurang lahan parkir di Kampus Bulaksumur. Gunakanlah agar polusi udara tidak melunturkan birunya kampus biru. Agar sehat jasmani penggunanya seimbang dengan keindahan masjid di kampusnya yang menyehatkan rohaninya. Jika masih bersikeras menggunakan motor, resiko mencari lahan parkir seharian akan dirasakan, terlebih setelah diratakannya area parkir di fakultas berbudaya.Gunakanlah sepeda, tidak sulit bukan? Harganya juga tidak seberapa. Tidak perlu uang bensin. Cukup siapkan air putih satu galon jika sanggup karena udara dan cuaca di Jogja sedang panas-panasnya. Terlebih dengan proyek-proyek pencakar langitnya, bangunan ratusan jendela dan lantai yang bertingkat-tingkat. Mesin-mesin bising yang mengganggu perkuliahan. Gunakanlah sepeda. Sekali lagi. Meskipun lajunya tidak secepat kendaraan-kendaraan proyek yang lalu-lalang. Apa sulitnya menggunakan sepeda? Setidaknya bisa menyeimbangkan udara yang sedang dicemari proyek-proyek daripada asap rokok dan asap knalpot yang katanya lebih berbahaya untuk manusia.