Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia tidak akan asing dengan istilah “Kopi Sianida”. Kasus yang belakang menjadi perhatian publik bukan soal jenis menu baru racikan barista, tetapi masalah kasus kematian seorang perempuan bernama Wayan Mirna yang menyeret sahabatnya, Jessica Kumala Wongso sebagai tersangka utama yang dituduh meracuni korban dengan memasukan racun sianida ke dalam kopi di sebuah café di Jakarta.
Tulisan ini tidak akan membahas permasalahan hukum mengenai kasus tersebut. Hal yang menarik untuk dilihat adalah bagaimana kasus ini menjadi sebuah tontonan populer yang menjadi konsumsi masyarakat dalam beragam media. Kasus ini bahkan ditayangkan prime time secara live di beberapa stasiun swasta Indonesia dari awal hingga selesai persidangan. Tidaklah beralasan stasiun-stasiun televisi akan menayangkannya karena animo masyarakat terhadap kasus ini sama besarnya.
Kita diingatkan kembali pada acara-acara live berdurasi panjang tayangan pernikahan dan kelahiran selebritis beberapa tahun silam. Kini, kasus persidangan seseorang yang bukan selebritis malah ikut diikuti masyarakat, hingga penonton seolah menyaksikan acara sinetron. Terlebih, kasus tersebut menyangkut budaya populer kekinian: trend coffee shop. Dalam layar kaca, dapat kita lihat bagaimana kamera menyorot dua sisi sekaligus; keterangan saksi dan wajah ekslusif terdakwa. Media televisi menjadi bergairah kembali untuk disaksikan, setelah sebelumnya masyarakat jenuh dengan tayangan-tayangannya dan beralih ke media sosial internet.
Alih-alih menjadi penonton cerdas yang mendapat pengetahuan mengenai hukum dan persidangan, tontonan semacam ini nyatanya tidak jauh beda dengan acara-acara serial televisi lain yang menyorot kehidupan selebriti, sinetron, ataupun acara bincang artis. Satu-persatu tokoh yang muncul dan angkat bicara dipersidangan di-googling dan dibicarakan, tak jauh beda dengan acara infotainment yang sering dijadikan tontonan eskapis yang menghibur.
Seorang pemikir Prancis, Pierre Macherey, melihat bagaimana kebungkaman dibalik budaya populer. Meskipun anggota Komunis Prancis sekaligus murid Althusser itu melihat dari sudut pandang karya sastra. Tetapi cara kerja sebuah media populer membungkam wacana sebagai pengalih-perhatian, menarik untuk mengkaji tren populer ini. Cara kerja ini pula yang hampir sama dengan yang pernah ditulis oleh Ariel Heryanto dalam bukunya, Identitas dan Kenikmatan. Bagi Macherey, yang terpenting dari sebuah teks adalah apa yang disembunyikannya. Maka semakin banyak teks itu diolah, maka semakin besar yang dibungkamnya. Ada sebuah proyek ideologis yang dibuat untuk mengalihkan, membungkam, atau menunda wacana besar dan penting untuk dibongkar dan diketahui. Baik disengaja ataupun tidak, konsumen tersebut kemudian secara tak sadar melupakan dan teralihkan pada wacana yang lebih massal dibicarakan.
Di era tahun 90-an, penonton berita televisi nasional dicekoki tayangan mengenai pemimpin bangsa sedang menanam padi, membangun jembatan, atau berita mengenai kelaparan Ethiopia yang membuat penontonnya simpati dan miris. Berita-berita semacam itu yang menjadi pengalih-perhatian konsumen televisi. Seolah-olah mereka tengah menonton tayangan berbobot yang menunjukkan kemajuan bangsa dan mensyukuri kehidupan orde itu. Mereka seakan dibawa lupa, bahwa pada saat itu, bangsapun tengah diancam krisis pangan dan kemiskinan. Meskipun tak ada yang bisa menyalahkan peran media sebagai wadah aspirasi dan hiburan, tetapi penontonpun harus lebih jeli, cerdas, dan sensitif terhadap tayangan populer. Dibalik popularitas yang dibuat massal dan hiperbola, takkan ada yang tahu wacana yang dibungkamnya.
***
* Versi PDF dapat diunggah di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar