Rabu, 28 Desember 2016

(Puisi) Mbeling: Pengakuan dan Eskapismenya

Kelahiran Puisi Mbeling

Puisi mbeling merupakan bentuk puisi yang tidak mengikuti kaidah estetika puisi pada umumnya; mengutamakan unsur kelakar; pengarang memanfaatkan semua unsur puisi berupa bunyi, rima, irama, pilihan kata dan tipografi untuk mencapai efek kelakar tanpa ada maksud lain yang disembunyikan (tersirat), menyampaikan kritik sosial terutama terhadap sistem perekonomian dan pemerintahan, serta menyampaikan ejekan atau bersifat satir kepada para penyair yang bersikap sungguh-sungguh terhadap puisi. Dalam hal ini, Taufik Ismail menyebut puisi mbeling dengan puisi yang mengkritik puisi[1]Puisi mbeling masih memperlihatkan kesamaan makna dengan puisi-puisi pada umumnya, sehingga akan sulit membedakannya dengan puisi-puisi lainnya. Tetapi jika melihat puisi mbeling secara langsung akan menimbulkan persepsi baru terhadap hakikat puisi pada umumnya yang sifatnya ‘serius’. Penggunaan kata serta bahasa cendrung spontan dan apa adanya.

Puisi mbeling lahir pada sekitar tahun 70-an, dipelopori oleh Remy Sylado, Jeihan, dan kemudian muncul Yudistira yang ikut meramaikan ‘demam’ puisi mbeling. Puisi mbeling yang berarti nakal berciri khas humor, keluguan, kritik, serta unik dari segi bahasanya. Majalah Aktuil pertama kali mewadahi karya-karya dari penulis-penulis baru yang memulai kreativitas melalui sastra berupa puisi tersebut.  Oleh karena itu,  remaja yang menjadi konsumen majalah remaja di masa itu, dengan mudah menyambut hangat kehadirannya. Rubriknya memiliki nama yang sama yakni “Puisi Mbeling”. Meskipun terjadi perubahan nama berulang kali, seperti menjadi Puisi Lugu, Puisi Awam, serta Puisi Underground, namun nama Puisi Mbeling-lah yang populer di kalangan masyarakat. Selain Majalah Aktuil, majalah-majalah lain ikut meramaikan dan mewadahi kreativitas penulis muda, seperti Majalah Top, dengan tajuk Puisi Lugu, ketika sang penggagasnya, Remy Sylado pindah ke majalah ini, yang mengawali penyebaran ‘virus’ puisi mbeling di berbagai media massa. Untuk menyebut beberapa di antaranya; Majalah Stop, Astaga, Sonata, Yunior serta beberapa majalah remaja lainnya dan juga muncul berbagai rubrik serupa puisi mbeling di berbagai surat kabar mingguan yang terbit di berbagai daerah. Berikut adalah salah satu puisi yang diterbitkan dalam Majalah Aktuil pada tahun 1970-an oleh Remy Sylado.

Kesetiakawanan Asia-Afrika
Mei Hwa perawan 16 tahun
Farouk perjaka 16 tahun
Mei Hwa masuk kamar jam 24.00
Farouk masuk kamar jam 24.00
Mei Hwa buka blouse
Farouk buka hemd
Mei Hwa buka rok
Farouk buka celana
Mei Hwa buka BH
Farouk buka singlet
Mei Hwa telanjang bulat
Farouk telanjang bulat
Mei Hwa pakai daster
Farouk pakai kamerjas
Mei Hwa naik ranjang
Farouk naik ranjang
Lantas mereka tidurlah
Mei Hwa di Taipeh
Farouk di Kairo

Dengan kemunculan puisi mbeling, minat remaja akan penulisan puisi menggelora dengan banyaknya puisi-puisi yang datang ke redaksi majalah, dengan demikian antusiasme penulis muda akan sastra khususnya puisi, memiliki wadahnya tersendiri. Dapat dilihat karakter puisi mbeling terdapat ciri khas humor dan terkesan santai dari puisi-puisi pada umumnya. Ending dari puisi mbeling terdapat makna yang memiliki karakter jenaka dan kadang berakhir dengan senyum atau bahkan tawa dan tentu saja memiliki makna yang serius yang dikemas berbeda. Maka dengan hadirnya puisi mbeling ini, kesan bahwa puisi merupakan sastra yang serius dengan bahasa baku perlahan memudar.



Perkembangan Puisi Mbeling

Setelah Majalah Aktuil berhenti terbit pada tahun 1975, semangat penulisan puisi mbeling mulai memudar, meskipun beberapa penulis masih setia dengan puisi-puisi mbeling-nya. Sebut saja F. Rahardi di tahun ’80- yang berlanjut pada puisi-puisi Joko Pinurbo dan Gus Mustofa Bisri di tahun ‘90-an[2]Proses kreatif kepenyairan F. Rahardi yang tampaknya terus mengeliat mengembangkan jalur pilihannya. Sekalipun dalam kapasitas kesehariannya begitu sibuk sebagai penangging jawab di Majalah Pertanian Trubus, membuktikan bahwa ternyata karier kepenyairannya belum selesai. F. Rahadi terus berupaya melakukan pembaruan-pembaruan, pembocoran-pembocoran terhadap kaidah-kaidah perpuisian yang dinilainya sudah membeku atau mengalami tahap penjenuhan. Manifes kepenyairannya yang pernah diajukannya dengan judul “Proklamasi Puisi” yang kemudian dimuatnya dalam buku antologi puisinya yang kedua “Catatan Harian Sang Koruptor” (1985), tetap dipegangnya secara teguh.

Pada tahun 1980-an, F. Rahardi menulis puisi tentang wanita penghibur (WTS), sudut pandang yang berbeda ditulisnya secara santai dan iseng bertentangan dengan konotasi yang beredar tentang wanita penghibur tersebut. Hal itu memperlihatkan pertentangan terhadap pandangan tentang wanita penghibur yang dicap sebagai wanita murahan dan menyebarkan penyakit. Demikianlah ketika masyarakat bicara soal korupsi dan koruptor, Rahardi pun memplesetkan dirinya sebagai salah seorang tokoh koruptor kata-kata. Segala norma yang sudah mapan, dibocorkannya kembali dalam jagat perpuisian seperti dapat disimak dalam buku puisi keduanya. “Catatan Harian Sang Koruptor”, lantas buku puisi ketiganya “Istilah Garong” (1990), menyulap dirinya laksana seorang garong yang gemar beraksi, maka lahirlah lirik-lirik macam ini.[3]

Penolakan Kehadiran Puisi Mbeling

Keberadaan puisi mbeling yang vulgar dan terkesan iseng mendapat penolakan dari berbagai pihak, terutama dari pemerintah yang nyatanya menjadi salah satu sorotan dalam tema-tema puisi mbeling. Sejak awal berkembang, puisi mbeling telah berbenturan dengan tradisi perpuisian di Indonesia. Salah satu contohnya adalah ketika Remy mempublikasikan sebuah puisi dengan bahasa sastra agak tabu di Majalah Aktuil yang membuat berang pemerintah. Kisruh pun meletup, pernyataan keberatan melayang langsung dari Departemen Penerangan. Tak hanya itu, majalah Aktuil terancam dicabut SIT- nya oleh Deppen[4]

Yudhistira Massardi hadir dalam masa otoritas lirik menguasai perpuisian pada tahun 1970-an. Yudhistira menuliskan puisi-puisi yang berada dalam posisi berbeda (menentang) arus utama lirik. Puisi-puisinya dikenali dengan label kolektif puisi mbeling meski tidak menutup pencapaian estetika individual Yudhistira. Puisi-puisi Yudhistira pada masa itu berada dala tegangan lirik, puisi mbeling, dan perbedaan pencapaian estetika individual. Posisi Yudhistira tidak bisa hanya berada dalam kolektivitas puisi mbeling yang melakukan gerakan besar estetika (kritik). Yudhistira berada dalam posisi yang unik meski harus berada dalam tegangan-tegangan itu. Kontroversi yang terjadi adalah pemberian penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta untuk kumpulan puisi terbaik pada Yudhis (1976-1977). Pemilihan itu ditentukan dewan juri yang terdiri dari Goenawan Mohamad, Toeti Heraty, dan Dodong Djiwapradja[5].

Sajak Sikat Gigi
Seseorang lupa menggosok giginya sebelum tidur
Di dalam tidurnya ia bermimpi
Ada sikat gigi menggosok-gosok mulutnya supaya terbuka
Ketika ia bangun pagi hari
Sikat giginya tinggal sepotong
Sepotong yang hilang itu agaknya
Tersesat di dalam mimpinya dan tak bisa kembali
Dan ia berpendapat bahwa kejadian itu terlalu berlebih-lebihan
(Yudhistira Massardi, 1976)


Selain itu juga, pelarangan terhadap F. Rahardi untuk tampil membacakan puisinya Catatan Harian Sang Koruptor pada tahun 1986 di Graha Bakti Budaya, TIM, juga menjadi salah satu penolakan terhadap puisi mbeling. Semua itu, tidak lepas dari puisi-puisi Rahardi yang sangat vulgar. Jika dalam karya puisinya Rendra ada keseriusan berbicara masalah ketimpangan, tapi dalam puisi Rahardi tidak demikian, yang ada hanya kata-katanya iseng namun kritis. Puisinya memang ungkapan spontanitas yang tanpa direnungkan kembali seperti pisi-puisi Sutarji CB atau Rendra. Karya puisi F. Rahardi bersifat temporer saja, sedangkan puisi Sutarji CB dan Rendra bersifat klasik. Berbeda dengan puisi Rendra yang bisa bertahan dari tahun ke tahun karena puisi-puisi Rendra diciptakan dengan perenungan yang lama dan detail dalam mengungkap permasalahan yang akan diangkat dalam puisinya.

Sisi lain yang menjadi penanda bagi puisi mbeling adalah semangat untuk menolak adanya kehendak untuk membakukan standar estetika dalam menulis puisi. Misalnya saja puisi yang secara umum kita maknai sebagai ‘ ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait , seperti pengertian yang disodorkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 1997, halaman 706). Begitu pula ahli sastra terkemuka seperti misalnya M. H. Abrams, dalam bukunya: A Glossary of Literary Terms. (Thomson-Wadsworth, 2005), selain memperkenalkan berbagai definisi lainnya tentang puisi juga kepada kita juga dikenalkan berbagai jenis bentuknya seperti pantun, soneta, puisi bebas berikut segala ciri dan aturannya, dan sebagainya. Sedangkan Owen Barfield, dalam bukunya; Poetic diction: a study in meaning (Wesleyan University Press. 1987, halaman 41) menyatakan bahwa ‘ puisi memiliki tradisi untuk menampilkan hal yang bersifat luhur yang terkandung di balik makna yang tersimpan pada berbagai struktur metafora dan diksi puisi yang disusun oleh para penyair dari masa ke masa. Lantas tentang apa yang disebut sebagai ‘struktur batin puisi’, Owen juga menjabarkan bahwa ‘media puisi adalah bahasa. Salah satu bukti dari struktur atau tataran bahasa adalah hubungan tanda dengan makna, maka puisi haruslah bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun makna secara menyeluruh[6].

Di saat memproklamirkan puisi mbeling, Remy Sylado dengan tegas menyatakan sikap yang berseberangan dengan standar estetika seperti ini. Dalam salah satu esei pendeknya yang menyertai sebuah edisi puisi mbeling di majalah Aktuil, Remy berkata, “Sejak awal sudah dikemukakan bahwa puisi mbeling adalah puisi tandingan. Puisi-puisi kaum tua sudah mati, puisi tak perlu dianggap mulia lagi, sebab banyaknya penyair-penyair tua yang tak jujur, hilang harga diri, memprotes dan meludah tetapi setelah itu menjilat lagi ludahnya. Peristiwa-peristiwa ini sebagian menjadi gugahan dalam puisi mbeling, menelanjangi kebodohan, kebegoan, kemunafikan, ke-mencla-mencle-an,”,- juga antara lain dikatakan bahwa puisi mbeling “ revolt terhadap nilai-nilai yang kaku sebab mapannya itu, yang berpusing-pusing di sekitar itu wungkul bunga, awan, kuda, cacing , gunung, sawah , laut, padi…”

Puisi Mbeling Dan Kaum Muda

Puisi mbeling sangat erat dengan ‘kaum muda’ saat itu (1970-an). Majalah Akutil yang merupakan majalah anak muda yang menjadi wadah dan cikal bakal anak muda menulis dan menggandrungi puisi mbeling pada saaat itu mengalami peningkatan oplah luar biasa sehingga kesulitan dengan banyaknya peminat majalah tersebut, bahkan majalah Aktuil sempat menjadi trend di kalangan anak muda tahun 1970-an. Pada era orde baru, majalah-majalah luar negeri bisa masuk dengan mudah ke tangan masyarakat Indonesia khususnya para remaja. Demam Rock n Roll dan film-film James Dean menjadikan majalah-majalah yang memuat tentang musik dan film menjadi populer, majalah Aktuil kemudian menjadi lebih populer ketika kursi redaksi ditempati oleh Remy Sylado dengan puisi mbeling-nya. Musik dan film bertemakan ‘pemberontakan’ kaum muda terhadap ‘kaum tua’ di luar negeri membuat kisruh dan menjadi isu dunia pada saat itu. Namun di Indonesia sendiri, protes kaum muda disalurkan ke dalam media puisi mbeling. Sehingga, puisi-puisi mbeling identik dengan tema pemberontakan, penolakan, spontanitas, dan gaya bahasa yang tidak teratur yang merupakan ciri penulisan gaya remaja.

Puisi Mbeling Saat ini dan Cybersastra

Jatuh bangunnya puisi mbeling dari tiap dekadenya memang dapat dikatakan akibat dari kurangnya fasilitas penyair puisi mbeling dalam menuangkan karyanya. Kelompok Studi Sastra Bianglala membangkitkan kembali puisi mbeling dengan menerbitkan antologi Puisi Mbeling bertajuk “Suara-Suara dari Pinggiran”.

Di tahun 2000-an ini pula, geliat akan puisi mbeling mulai mengalami kemajuan dengan berkembangnya teknologi internet. Jejaring sosial dan blog, serta website merupakan media baru bagi penulis puisi mbeling dalam memfasilitasi karyanya. Adalah heru Emka dan medianya bernama Komunitas Sastra Bianglala yang kembali mempopulerkan puisi mbeling saat ini. Terdapat media menulis puisi, informasi, serta tanya jawab seputar puisi mbeling yang terdapat di alamat www.jendelabudaya.com.

Dalam jejaring sosial, puisi mbeling juga memiliki komunitasnya tersendiri. Terdapat sekitar 5 grup puisi mbeling yang aktif mewadahi karya-karya penulis yang sebagian kaum muda atau remaja dari beragam kalangan. Meskipun puisi mbeling telah berusia 4 dekade, akan tetapi gaya khas ‘iseng’ oleh penulis-penulisnya masih memperlihatkan puisi mbeling seutuhnya.

Ninabobo
Hai Nina
Mau nggak, kamu aku boboin?
(Regi Sastra Sena, Gianyar, 24 Mei 2013) 
Saat Ribuan Ton Daging Sapi Jadi Sekerat Daging Jadi
hai cantik, pahamu licin
aku terpeleset jadinya
padahal tangga di rumah
sedang menunggu datang susu
untuk bayi yang baru lahiran
eh aku malah ngasih uang jajan
pada kau cantik, yang licin pahanya
hai manis, harga-harga mahal
aku tahu kau mau uang jajan
simpan ini di tas, dan tutuplah rapat-rapat
sementara itu, bukalah rokmu tinggi-tinggi
setinggi tumpukan uangku di laci
biar burungku bebas lepas pergi
mencari yang dia mau sesukanya
saat ribuan ton daging sapi
jadi sekerat daging jadi
aku harus menginap di hotel berterali
sementara kau bebas pergi
membaca cairan yang pasti jadi
biar nanti kubelikan susu baru
agar tak bosan kau kutipu
(Azie Nasrullah , 2013)
Dari puisi-puisi di atas, terlihat bahwa puisi tersebut mengangkat tema aktual yang didokumentasikan ke dalam puisi mbeling. Dengan media internet atau bisa disebut cybersastra, semua bisa menuliskan pemikiran serta aspirasinya ke dalam bentuk puisi. Hal ini mengingatkan kembali kepada majalah Aktuil yang sempat menjadi trend di tahun 70-an, dimana semua orang dapat menjadi penulis dengan adanya media yang menampungnya. Serta saat ini kebebasan berekspresi dan beraspirasi membuat masyarakat dapat mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap hal-hal yang menurut mereka pantas diserukan melalui puisi mbeling dan bukan melalui bentuk fisik.


Rujukan

Soedjarwo, TH.Sri Rahayu Prihatmi, dan Yudiono KS. Puisi Mbeling Kitsch dan Sastra Sepintas. Indonesia Tera: Jakarta

Sylado, Remy. 2004. Puisi Mbeling. Kepustakaan Populer Gramedia (KPG): Jakarta

http://www.facebook.com/groups/440528079371970/
http://jendelabudaya.com/puisi-mbeling-dulu-kini-dan-nanti-bagian-2/
http://jokpin.blogspot.com/2007/12/humor-yang-politis-humor-yang-tragis.html
http://m.koran-jakarta.com/?id=99836&mode_beritadetail=1
http://id.wikipedia.org/wiki/Puisi


[1] Berdasarka artikel dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Puisi diakses pada tanggal 30 Mei 2013
[2] Berdasarkan artikel dalam http://jendelabudaya.com/puisi-mbeling-dulu-kini-dan-nanti-bagian-2/ diakses pada tanggal 30 Mei 2013
[3] Berdasarkan artikel dalam http://frahardi.wordpress.com/page/12/ diakses pada tanggal 30 Mei 2013
[4] Berdasarkan artikel dalam aceh.tribunnews.com/.../nasib-puisi-mbeling-di-aceh diakses pada tanggal 30 Mei 2013
[5] Berdasarkan artikel dalam http://jokpin.blogspot.com/2007/12/humor-yang-politis-humor-yang-tragis.html diakses pada tanggal 30 Mei 2013
[6] Berdasarkan artikel Heru Emka http://jendelabudaya.com/puisi-mbeling-dulu-kini-dan-nanti-bagian-2/ diakses pada tanggal 30 Mei 2013
[7] Berdasarkan http://www.facebook.com/groups/440528079371970/ diakses pada 30 Mei 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar