Minggu, 31 Januari 2016

Selfie, Media, dan Nilai Ideologis

Ini diawali dengan maraknya penyerangan terhadap budaya populer yang saat ini tengah marak melalui jejaring sosial (baca: sosmed) disebabkan kecanggihan informasi dan teknologi.
Akhir-akhir ini pembaca berita akan dibuat miris dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi dengan tagline SELFIE. Dari masyarakat sipil hingga pejabat sekelas Barack Obama pernah diberitakan dengan tema serupa. Akan tetapi, pembaca akan dibawa pada sebuah gagasan bahwa selfie merupakan sebuah aktivitas yang tidak beretika.

Jadi, narasi seperti "selfi harus tahu situasi dan kondisi" menjadi sebuah landasan utama bahwa aktivitas memotret diri sendiri harus melihat konteks. Akan tetapi, konteks seperti apa yang tepat untuk menggunakan selfie agar tepat penggunaannya, sampai saat ini belum ditemukan fungsi yang bisa diterima secara fair. Belum lagi pemberitaan terhadap bahaya selfie di Indonesia menjadi sebuah momok masyarakat yang disorot sebagai aktivitas mengancam dan berlebihan. Ambillah contoh, berita belakangan ini tentang remaja yang gila selfie menginjak bunga, atau yang diberitakan lebih parah adalah ketika selfie telah merenggut nyawa dua mahasiswa di Jakarta, atau juga di Gunung Merapi Yogyakarta.

Katakanlah selfie telah menjadi sebuah budaya pop, dan lagi-lagi budaya pop ini dipersalahkan. Apa yang menjadi barometernya? Tentu saja etika yang telah menjadi mufakat universal. Etika yang dipakai adalah akan merujuk (pada akhirnya) pada etika agama sebagai sebuah patron mengatur tatanan masyarakat. Kerap kali testimoni ustad pada sebuah acara kegamaan (misalnya) menyebutkan bahaya selfie hingga menetapkan label haram terhadap selfie tersebut.

Di sini nampaklah bahwa seiring berkembangnya teknologi informasi dan budaya populer, seiring pula dengan semakin kuatnya ideologi yang mengaturnya. Dan peran media untuk menjadi agen ideologis tersebutlah yang membuat pemberitaan semakin nampak menyudutkan budaya populer, khususnya selfie.

Kemudian, apa yang membuat budaya selfie dan budaya fotografi (harus) dibedakan? Adalah objek yang menjadi dasarnya, dan ke-iri-an yang menjadi penyebabnya. Orang yang memotret diri sendiri dianggap sebagai orang yang sangat kepedean itulah kenapa cap selfie menjadi nama untuk fenomena ini. Berbeda dengan seorang fotografer yang disuruh untuk memotret kliennya, kenapa ini tidak dikatakan selfie? Apa subjek yang menjadi parameter selfi tidaknya sebuah gambar?

Yang menilai sebuah gambar adalah orang yang melihat gambar tersebut yakni orang ketiga. Nilai yang diperoleh tergantung pada yang melihat atau membaca gambar tersebut. Dan orang yang melihat memiliki kecendrungan menilai secara pribadi, meskipun pada akhirnya etika (yang tadi telah dijelaskan) menjadi barometer selfie tidaknya sebuah gambar.

Kembali pada masalah pemberitaan selfie. Media menjadi penyalur paling kuat untuk membaca sebuah gambar, dalam hal ini pembidik gambar (baca: fotografer) dihilangkan fungsinya. Pembacaan terhadap gambar akan berbeda jika tidak ada narasi di dalamnya. Untuk itulah, harus dipahami bahwa sebuah berita memiliki misinya masing-masing, sehingga kita harus lebih pintar dari media untuk melihat sebuah berita bergambar, atau berita yang memberitakan selfie.

Di sinilah alam menjadi wacana paling dominan. Masyarakat ditekan untuk melestarikan alam, dan di sisi lain masyarakat dipaksa untuk memanfaatkan teknologi. Dua sisi yang bertolak belakang, dan masyarakat bingung untuk menyeimbangkan keduanya. Kita kembali pada berita terinjaknya bunga-bunga di Yogyakarta. Ada keinginan untuk menunjukkan keindahan alam di sisi lain ada hasrat untuk menunjukkan diri (selfie) di dalamnya melalui gadget atau berita lainnya yang menyalahkan selfie.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar