Sabtu, 30 Januari 2016

Kekuatan Bahasa dalam Teks: Membaca “The Catcher in The Rye” Karya JD Salinger

Tulisan ini mungkin terlambat 70 tahun lebih lamanya. Meskipun, membuka teks-teks dalam The Catcher in The Rye di masa ini akan berbeda ketika membaca di masanya (baca: periode 50-an). Jika membaca novel tersebut dalam versi Bahasa, maka muncul pertanyaan apa bahayanya novel yang telah mengilhami Chapman untuk membunuh John Lennon atau juga judul tersebut menginspirasi Gun N’ Roses untuk mempopulerkan lagu dengan judul yang sama, serta sederet aliwahana lainnya yang didasari oleh novel karya J.D Salinger tersebut.


Holden Caulfiled, seorang remaja yang dikeluarkan dari sekolah populer Pencey memutuskan untuk tidak menunggu hingga Rabu untuk pulang ke rumahnya di New York. Maka pada hari Sabtu, setelah mendengar bahwa Stradlater, teman sekamarnya baru pulang dari kencan dengan sahabat masa kecilnya, Jane, Holden dengan emosi memuncak berkemas dan berangkat menuju New York. Holden menggunakan waktu tiga hari-nya untuk menceritakan semua pikiran dan perasaannya ke dalam bahasa dan pikiran orisinal khas remaja. Diceritakan bahwa Holden menggunakan waktu-waktu tersebut untuk tidak langsung pulang ke rumahnya, tetapi berkeliling New York tanpa sepengetahuan keluarga maupun orang-orang yang dikenalnya.


Alih-alih menunjukkan emosi menggelora seorang remaja dengan pikiran-pikiran liarnya, diksi yang eufimistik malah membuat novel (bahasa Indonesia) ini nampak seperti novel melodrama ketimbang thriller. Repetisi “Ya, Tuhan” dalam teks sebagai ungkapan emosional tokohnya adalah contoh yang sangat mencolok.

Hal lain yang muncul saat melihat novel ini secara fisik adalah tidak diterjemahkannya judul asli ke dalam bahasa Indonesia. Fiksi tersebut masih menggunakan The Catcher in The Rye untuk menarik pembaca Indonesia. Dan pertanyaan di cover belakang novel kenapa buku ini disukai para pembunuh? membuat konsumen di toko buku akan mempertimbangkan untuk membelinya sebagai novel psikopat yang menghibur.

Kekuatan teks-teks dalam novel tersebut mampu meyakinkan pembaca bahwa sistem-sistem yang dibuat manusia sedemikian tidak rasionalnya. Dimulai dari alasan dikeluarkannya Holden hanya karena gagal dalam tiga mata pelajaran yang diambilnya, hingga bagaimana dia melihat orang-orang berduyun dan tidak bersuara saat mendengar alunan musik pianis bar di New York. Holden melihat orang-orang kota tersebut seperti robot. Setelah menutup buku tersebut, pembaca akan sadar bahwa manusia-manusia modern telah membungkam kendali manusia (pikiran dan hasrat).

Dipertahankannya judul orisinal pastilah memiliki alasan kuat. Jika pembaca jeli untuk melihat di halaman 242 (versi Bahasa) ketika Holden berbincang dengan Phoebe tentang puisi Robert Burns Comin’ Thro’ The Rye. Dijelaskan angan-angan Holden untuk menjadi seorang penyelamat anak-anak yang bermain di ladang gandum tepi jurang, bagaimana dirinya ada untuk meyelamatkan mereka agar tidak terjatuh ke dalam bahaya.

Meskipun makna judul tersebut ambigu (atau mungkin semu), akan nampak terlihat bahwa novel tersebut ingin menyampaikan hal yang sangat sederhana: pentingnya anak-anak untuk masa depan, baik dalam puisi Robert Burns maupun kisah Holden sendiri.


Tidak ada yang bahaya dari membaca buku ini, secara tidak sadar, bahasa hati (kata hati) manusia memang tidak dapat dikendalikan, begitupun pikiran manusia. Novel ini hanya memberikan sebuah fenomena yang menunjukkan pikiran remaja (meskipun penulisnya bukanlah remaja). Manusia terlalu takut dengan ancaman bahasa, padahal di sanalah letak kekuatan bahasa, dan sastra khususnya.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar