Semenjak ditayangkan perdana di akhir April 2016, kehadiran sekuel Ada Apa Dengan Cinta? kembali membawa memori masa silam di tahun 2002. Ketika romantika remaja SMA dikemas dengan cerita sederhana sekaligus ekslusif melalui tokoh-tokoh menawan dan tema kelompok persahabatan (geng) dalam media film, tak ayal film-film yang sejajar tayang mulai tidak acuhkan, termasuk film-film box office. Tak perlu pertanyakan bagaimana bisa cerita sederhana tersebut begitu mengena di penontonnya, hingga kemudian mengekor film-film lain setelahnya, juga dalam sinetron dan novel, kisah-kisah anak-anak sekolah yang tidak hanya soal romantika, akan tetapi juga dibumbui kisah horor, detektif, hingga sejarah. Yang intinya adalah melibatkan remaja.
Bisa jadi, gerahnya penonton terhadap film-film klise superhero maupun tema yang dianggap terlalu dewasa bagi usia penontonnya sudah membuat jengah. Apalagi kebanyakan penonton adalah kawula muda. Dan tentu saja, hadirnya remaja sebagai tokoh utama mewakili identitas mereka untuk merasa eksis, setidaknya menyadarkan diri sendiri terhadap dunianya. Dan sungguh momen yang sangat tepat sekali untuk kembali ‘mempertanyakan’ cinta antara Rangga dan Cinta setelah 14 tahun mereka diombang-ambingkan kisah romansa klise yang tak selesai. Seolah, penonton juga menjadi saksi bisu yang dihantui cinta mereka yang mengambang tidak tuntas. Dan penonton yang kala itu remaja di tahun 2002, tentu telah beranjak dewasa dan ‘menginginkan’ kisah kasih yang sedikit serius, ketimbang melanjutkan kisah remaja ataupun masa mahasiswa.
Penonton kembali berduyun, ingin menuntaskan kisah lama yang menggebrak, diungkit kembali. Dan tentu saja, Rangga, Cinta, Maura, Carmen, dan Milly terkaget ketika nyatanya kisah ini hadir dan kembali memunculkan mereka yang telah dewasa dan beberapa telah menikah. Berbeda dengan kisah persahabatan Carrie Bradshaw dan kawan-kawan di Sex in The City, kisah AADC 2 memang disesuaikan dengan selera masa kini: dewasa namun tetap ketimuran, tepat dengan cerita-cerita drama Korea yang serupa. Di awal-awal cerita, penonton bertanya tentang keberadaan Alya yang tidak juga nampak hingga seperempat durasi film. Kenyataan pahit harus diterima Alya dengan kisah pilu dirinya ‘dimatikan’ dengan alasan kecelakaan jalan raya. Tentu saja, harus ada tokoh yang dikorbankan karena dalam persahabatan, lima orang terlalu ramai. Tidak terbayang bagaimana sulitnya merangkai kisah Alya dewasa, yang sebenarnya sudah dan paling dewasa diantara keempat sahabatnya meskipun masih remaja. Jadi dengan ‘keji’ tokoh Alya memang perlu dihilangkan, apapun alasannya, toh kisah Alya sudah menyedihkan dari awalnya.
Banyak kebetulan yang bisa dibilang memang tepat, termasuk di antaranya adalah diantara sahabat-sahabatnya, hanya Cinta yang belum menikah. Katakanlah ketika bertemu Rangga pertama kali, usianya 17 tahun berarti empat belas tahun kemudian usia Cinta saat ini adalah 31 tahun, dan di usia 22 tahun Cinta diputuskan sepihak oleh Rangga. Meskipun demikian, usia 31 tahun adalah wajar di Kota Metroplitan dan seorang wanita karir seperti Cinta belum menikah. Faktor ‘kebetulan-kebetulan’ tersebut merupakan ciri khas film pop digandrungi penontonnya. Tidak terbayangkan jika Cinta telah menikah dengan pengusaha nomer sekiannya Indonesia dan telah memiliki dua anak namun tetap cantik seperti empat belas tahun yang lalu, apa jadinya jika bertemu kembali dengan Rangga yang nyatanya belum menikah hingga saat ini.
Faktor kebetulan lainnya adalah latar yang menentukkan pertemuan mereka, Yogyakarta. Kota budaya yang berbanding terbalik dengan ramainya setiap jengkal Jakarta. Faktanya, hanya Yogyakarta yang menjadi lokasi tepat pertemuan mereka, yang akan menghubungkan tiap narasinya. Yogyakarta tentu adalah kota yang tidak ada jam tidurnya. Dari pagi hingga pagi esok harinya, selalu penuh dengan aktifitas khususnya melibatkan budaya. Tak terbayang jika mereka dipertemukan di sebuah kota yang memiliki jam malam hingga pukul sepuluh, tidak mungkin bagi Rangga ‘menculik’ Cinta dari pagi hingga esok harinya tanpa mengajaknya mengelilingi setiap ruang yang memberi kesempatan bagi mereka kembali mengenang momen masa lalu.
Di mulai dari café bergaya retro, pertemuan dingin mereka dimulai. Dan membawa mereka ke dalam sebuah percakapan atas penjelasan Rangga pada Cinta di sembilan tahun silam, di depan beranda rumah yang tidak dijelaskan milik siapa. Kemudian mereka setuju untuk berdamai di sebuah gang di sudut Yogyakarta, sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk berjalan-jalan dengan mobil tua sejenis Katana. Candi yang sepi dan dihiasi oleh reruntuhan puing-puing bangunannya merepresentasikan kisah cinta mereka. Selanjutnya makan malam di sebuah kedai sate kambing. Dan diakhiri dengan mereka berada di sebuah teater boneka yang pentas di malam hari.
Alangkah apiknya kisah tersebut, dengan dibumbui tarik-ulur sikap Cinta yang khas akan kenaifannya. Cerita tidak akan sepanjang ini jika lokasinya bukanlah di Yogyakarta, Cinta kemudian memiliki kesempatan untuk mempermainkan Rangga di sebuah tempat di Jalan Kaliurang, yakni Klinik Kopi yang buka hingga tengah malam. Perjalanan memori tersebut kemudian memberikan ruang bagi mereka berdua di dalam sebuah kesunyian dini hari di sebuah tempat di kaki bukit. ‘Keajaiban’ pagi di atas menara Gereja Ayam di Magelang, membawa Cinta dan Rangga pada kenyataan bahwa mereka, dalam panjangnya perjalanan yang dilakukan spontan tanpa jadwal, tidak ingin kembali berpisah.
Meski demikian, harus ada klimaks yang menyadarkan penonton bahwa Cinta memiliki pilihan berat; kawan-kawan yang menantinya, Jakarta, dan tunangannya. Hingga pada akhirnya pertemuan mereka harus diakhiri dengan kembali dengan kebimbangan. Banyak hal yang merujuk pada nilai-nilai ‘kebetulan’ dalam cerita fiksi, yang membuat penonton seolah ‘greget’ pada kisah romantis. Terlebih bahwa tunangan Cinta, Trian, merupakan sosok ideal perempuan pada umumnya; mapan, ganteng, dan dewasa. Tetapi, cerita harus berlanjut dan kisah harus tuntas, tidak ada yang sempurna dalam cerita fiksi selain keangungan cinta. Maka cerita AADC 2 tersebut diakhiri dengan tuntasnya romantika keduanya di New York. Alasan setting New York, sekali lagi bukanlah kebetulan. Di Amerika sana, Cinta dan Rangga bisa dengan leluasa berciuman tanpa ada batas waktu dan batas etika yang membelenggu pertemuan mereka.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar