Selasa, 26 April 2016

Review Buku “Novel Dan Film” Karya Pamusuk Eneste*

Judul Buku : Novel dan Film
Penulis : Pamusuk Eneste
Penerbit : Nusa Indah
Tahun : 1991
Tidak selalu novel yang difilmkan akan memuaskan. Setidaknya itu yang ingin disampaikan oleh Eneste dalam bukunya yang berjudul “Novel dan Film”. Hal tersebut nyatanya berdasar pada ketidakpuasan penulis—yang novelnya difilmkan dan ketidakpuasan penonton—yang menonton film berdasarkan novel. Oleh karenanya, Eneste kemudian membahas dengan seksama alasan ketidakpuasan dari kedua pihak yang menjadi faktor utama dari eksistensi novel dan film.
Sebagai bagian dari sastra, film tentu harus memuat nilai-nilai sastra itu sendiri; cerita, alur, penokohan, latar, suasana, gaya, tema/amanat. Terlebih ketika film tersebut berdasar dari novel. Maka ketujuh elemen penting tersebut haruslah mampu mewakili novel dasarnya, berbagai teknik dilakukan agar film mampu terwakili oleh beragam visual dan artistik, serta suara yang bisa semegah kata-kata penulis dalam novel. Dalam segi cerita, plastik material harus mampu mewakili kata-kata yang dimaksudkan oleh penulis, sorotan kamera harus mampu menjelaskan frame-frame yang bisa dimengerti oleh penonton. Alur menurut Eneste dibagi dua; alur tunggal dan alur ganda. Alur tunggal merupakan plot konvensional yang runut, sementara alur ganda memiliki kecendrungan dua atau lebih plot yang beragam dan menyatu setelahnya. Penokohan dalam film digambarkan melalui benda-benda di sekitarnya, sehingga penonton bisa mengetahui watak, tabiat, atau karakter tokoh hanya dengan melihat apa yang menjadi tanda melalui benda dan tokoh. Latar dalam film harus dihidupkan dengan adanya benda-benda serta suara dan sebisa mungkin menunjukkan asal suara tersebut berasal.

Suasana bagi Eneste merupakan faktor dominan keberhasilan sebuah karya untuk bisa mendapatkan apresiasi penonton maupun pembacanya. Dalam hal ini peran insting produser dan penulis sama-sama ditantang untuk menjadikan karya, baik novel maupun film, mampu menciptakan suasana yang ngeri, romantis, sedih, takut, dan sebagainya. Oleh karenanya, kegagalan dalam menciptakan suasana inilah yang lumrah terjadi dan diakhiri dengan kekecewaan. Gaya merupakan ciri khas tersendiri dalam segi sastra, gaya menjadi sebuah faktor penting bagaimana cerita mampu memikat pembaca/penonton. Setiap karya tentu memiliki tema atau amanat dalam cerita, alur, penokohan, gaya, dsb. Hal tersebut mendukung tujuan tersendiri dari karya, baik novel maupun film, agar memiliki tendensi yang mampu memengaruhi pemikiran pembaca/penontonnya.

Menurut Eneste (1991), ekranisasi merupakan sebuah proses perubahan dunia kata-kata menjadi dunia gambar-gambar yang bergerak berkelanjutan dan mengubah imaji/linguistik menjadi imaji visual. Hal tersebut memungkinkan untuk sebuah novel beraliwahana ke dalam bentuk film. Proses-proses yang demikian itulah yang nyatanya menimbulkan banyak kekecewaan, khususnya bagi penulis novel yang karyanya tersebut difilmkan. Salah satu wujud kekecewaan novelis adalah hilangnya tema atau amanat yang diunggulkan dalam novel, dan ketika beralihwahana ke dalam film, amanat tersebut berubah atau hilang sama sekali. Hal tersebut bukan tanpa alasan, film berbeda dengan novel yang di dalamnya memuat banyak sekali kosa kata dan bahasa yang sulit untuk dipadatkan ke dalam bentuk film yang berdurasi pendek (kurang lebih 2 jam). Oleh karena itulah, sulit untuk produser mengubah bentuk-bentuk tersebut hingga tampil sesuai keinginan novelis.

Pengurangan maupun penghilangan adegan dalam novel ketika difilmkan bukan hanya ciri khas dalam ekranisasi. Hal lain yang perlu dilihat adalah adanya tambahan maupun variasi yang diselipkan ke dalam setiap adegan film. Fungsinya adalah untuk mengganti kata-kata atau kiasan makna dalam novel yang tidak mampu dilakukan oleh film. Beberapa gagasan seperti ini menjadi sebuah inovasi dan kreasi, akan tetapi jika terlalu berlebihan dalam proses penambahan, akan terkesan berlebihan atau juga akan keluar dari orisinalitas novel. Inilah yang banyak membuat novelis kecewa ketika karyanya difilmkan. Terakhir menurut Eneste (1991), baik novel maupun film memiliki kaidah-kaidahnya tersendiri, sehingga akan tidak objektif ketika menilai keduanya sebagai bandingan baik-buruknya suatu karya sastra.

***


* Versi pdf tersedia di laman ini silakan unduh/ download free dan jangan lupa mengutip nama dan laman untuk menghindari plagiasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar