Selasa, 26 April 2016

Review Buku “Novel Dan Film” Karya Pamusuk Eneste*

Judul Buku : Novel dan Film
Penulis : Pamusuk Eneste
Penerbit : Nusa Indah
Tahun : 1991
Tidak selalu novel yang difilmkan akan memuaskan. Setidaknya itu yang ingin disampaikan oleh Eneste dalam bukunya yang berjudul “Novel dan Film”. Hal tersebut nyatanya berdasar pada ketidakpuasan penulis—yang novelnya difilmkan dan ketidakpuasan penonton—yang menonton film berdasarkan novel. Oleh karenanya, Eneste kemudian membahas dengan seksama alasan ketidakpuasan dari kedua pihak yang menjadi faktor utama dari eksistensi novel dan film.
Sebagai bagian dari sastra, film tentu harus memuat nilai-nilai sastra itu sendiri; cerita, alur, penokohan, latar, suasana, gaya, tema/amanat. Terlebih ketika film tersebut berdasar dari novel. Maka ketujuh elemen penting tersebut haruslah mampu mewakili novel dasarnya, berbagai teknik dilakukan agar film mampu terwakili oleh beragam visual dan artistik, serta suara yang bisa semegah kata-kata penulis dalam novel. Dalam segi cerita, plastik material harus mampu mewakili kata-kata yang dimaksudkan oleh penulis, sorotan kamera harus mampu menjelaskan frame-frame yang bisa dimengerti oleh penonton. Alur menurut Eneste dibagi dua; alur tunggal dan alur ganda. Alur tunggal merupakan plot konvensional yang runut, sementara alur ganda memiliki kecendrungan dua atau lebih plot yang beragam dan menyatu setelahnya. Penokohan dalam film digambarkan melalui benda-benda di sekitarnya, sehingga penonton bisa mengetahui watak, tabiat, atau karakter tokoh hanya dengan melihat apa yang menjadi tanda melalui benda dan tokoh. Latar dalam film harus dihidupkan dengan adanya benda-benda serta suara dan sebisa mungkin menunjukkan asal suara tersebut berasal.

Suasana bagi Eneste merupakan faktor dominan keberhasilan sebuah karya untuk bisa mendapatkan apresiasi penonton maupun pembacanya. Dalam hal ini peran insting produser dan penulis sama-sama ditantang untuk menjadikan karya, baik novel maupun film, mampu menciptakan suasana yang ngeri, romantis, sedih, takut, dan sebagainya. Oleh karenanya, kegagalan dalam menciptakan suasana inilah yang lumrah terjadi dan diakhiri dengan kekecewaan. Gaya merupakan ciri khas tersendiri dalam segi sastra, gaya menjadi sebuah faktor penting bagaimana cerita mampu memikat pembaca/penonton. Setiap karya tentu memiliki tema atau amanat dalam cerita, alur, penokohan, gaya, dsb. Hal tersebut mendukung tujuan tersendiri dari karya, baik novel maupun film, agar memiliki tendensi yang mampu memengaruhi pemikiran pembaca/penontonnya.

Menurut Eneste (1991), ekranisasi merupakan sebuah proses perubahan dunia kata-kata menjadi dunia gambar-gambar yang bergerak berkelanjutan dan mengubah imaji/linguistik menjadi imaji visual. Hal tersebut memungkinkan untuk sebuah novel beraliwahana ke dalam bentuk film. Proses-proses yang demikian itulah yang nyatanya menimbulkan banyak kekecewaan, khususnya bagi penulis novel yang karyanya tersebut difilmkan. Salah satu wujud kekecewaan novelis adalah hilangnya tema atau amanat yang diunggulkan dalam novel, dan ketika beralihwahana ke dalam film, amanat tersebut berubah atau hilang sama sekali. Hal tersebut bukan tanpa alasan, film berbeda dengan novel yang di dalamnya memuat banyak sekali kosa kata dan bahasa yang sulit untuk dipadatkan ke dalam bentuk film yang berdurasi pendek (kurang lebih 2 jam). Oleh karena itulah, sulit untuk produser mengubah bentuk-bentuk tersebut hingga tampil sesuai keinginan novelis.

Pengurangan maupun penghilangan adegan dalam novel ketika difilmkan bukan hanya ciri khas dalam ekranisasi. Hal lain yang perlu dilihat adalah adanya tambahan maupun variasi yang diselipkan ke dalam setiap adegan film. Fungsinya adalah untuk mengganti kata-kata atau kiasan makna dalam novel yang tidak mampu dilakukan oleh film. Beberapa gagasan seperti ini menjadi sebuah inovasi dan kreasi, akan tetapi jika terlalu berlebihan dalam proses penambahan, akan terkesan berlebihan atau juga akan keluar dari orisinalitas novel. Inilah yang banyak membuat novelis kecewa ketika karyanya difilmkan. Terakhir menurut Eneste (1991), baik novel maupun film memiliki kaidah-kaidahnya tersendiri, sehingga akan tidak objektif ketika menilai keduanya sebagai bandingan baik-buruknya suatu karya sastra.

***


* Versi pdf tersedia di laman ini silakan unduh/ download free dan jangan lupa mengutip nama dan laman untuk menghindari plagiasi

Senin, 25 April 2016

Resensi Novel "Lafaz Cinta"

Judul       : Lapaz Cinta
Penulis      : Sinta Yudisia
Penerbit    : Mizania
Tahun      : 2007


Seyla memutuskan untuk belajar dan menekuni ilmu seni di Netherland setelah kehancuran hati yang dialaminya selepas Zen, tunangannya, memutuskan hubungan mereka karena dijodohkan oleh kedua orang tuanya kepada Lila. Di negara itulah, Seyla kemudian bertemu dengan Judith dan Barbara yang keduanya adalah seorang atheis, Ben dan Marko kedua karib yang ternyata adalah pasangan gay, Pangeran Karl dan Putri Constance yang dijodohkan karena kepentingan dua negara: Netherland dan Belanda.


Seiring kedekatan Seyla bersama teman-temannya tersebut, semakin dia terjerumus ke dalam konflik intern mereka. Judith dan Barbara menjauhinya karena melihat Seyla telah menjadi orang ketiga dalam kehidupan Pangeran Karl dan Putri Constance. Seyla tidak menampik perasaannya terhadap Pangeran Karl, terlebih setelah perhatian Pangeran terhadapnya yang dirasa berbeda. Semua gadis biasa memiliki angan-angan akan pangeran yang datang kepadanya seperti cerita-cerita di dalam dongeng, sisi lain di dalam dirinya merasakan hak istimewa untuk berharap Pangeran Karl akan lebih memilihnya daripada memilih Putri Constance, Seyla sudah terlalu berangan-angan tentang keajaiban kisah dongeng. Setelah dirinya sadar, Putri Constance yang telah menganggapnya sebagai teman dekat, menjauhinya dan menganggap Seyla sebagai saingan. Di situasi itulah Seyla membutuhkan teman berbagi, setelah Judith dan Barbara memusuhinya, Marko dan Ben tidak dapat membantu setelah mendapati diri mereka terkena HIV dan akan segera pindah ke Thailand.


Di situasi paling getir itulah, Seyla dekat dengan Saule dan Kareem Retorik, warga negara Chechnya yang menetap di Netherland bersama kedua anak angkat mereka, Asma dan Renata. Di komunitas De Gromiest, komunitas muslim di Netherland, Seyla tidak merasa sendiri di tanah rantauannya, dia bertemu dengan muslim-muslim lain, termasuk Arya dan Mahendra yang sama-sama dari Indonesia. Tidak disangka, acara De Gromiest yang diselenggarakan untuk mengenang momen-momen pembantaian umat muslim di dunia, termasuk diantaranya negara Saule, Chechnya, secara perlahan telah menyatukan dan menyelesaikan semua konflik yang mendera Seyla. Barbara yang menemukan hidayahnya untuk mengenal Islam, Marko yang tersentuh untuk kembali ke Netherland dan bergabung di De Gromiest, dan membuat Putri Constance kembali dekat dengan Seyla, dan membuat Seyla dengan ikhlas melepas perasaannya terhadap Pangeran Karl.


Namun, kepergian Saule beserta keluarganya ke Chechnya, membuat Seyla kembali kehilangan pegangan. Tetapi dengan ketiadaannya Saule yang selalu membantunya itulah yang membuat Seyla semakin ingin mengenal agamanya Islam. Seyla kemudian mulai sedikit demi sedikit menjadi muslimah seutuhnya. Bersama De Gromiest, Seyla menunaikan ibadah haji dan kembali dengan mendapatkan jodohnya setelah menerima pinangan teman satu komunitasnya di De Gromiest yang melamarnya setelah menyelesaikan ibadah haji. Seyla kemudian menerima lamaran Stepen Gaizauskaite dari Lithuania, yang enam bulan setelahnya menetap dan kembali ke Indonesia.

***

Resensi Novel "Izinkan Aku Bersujud"

Judul      : Izinkan Aku Bersujud
Penulis    : Tyas Effendi
Penerbit  : Mizania
Tahun     : 2009

Pertemuan Zevrin dengan Fathiya di sebuah rumah sakit swasta di Bandung merupakan awal perubahan hidup Zevrin. Zevrin adalah mahasiswi keperawatan yang tengah praktek, dia kemudian berkenalan dengan Syaddah dan anak angkatnya bernama Fathiya. Mereka berdua adalah warga negara Lebanon yang untuk sementara tinggal dan bertugas di Indonesia. Zevrin menemukan Fathiya ketika anak usia belasan tahun itu dirawat karena typus. Diantara tidurnya Fathiya seringkali menyebut nama Wahid, kakaknya, mereka terpisah karena perang yang terjadi di Lebanon. Dari pertemuannya itu, Zevrin dan Fathiya menjadi dekat, dan Fathiya menganggap Zevrin sebagai saudarinya.

Karena kesibukan Syaddah, maka Fathiya lebih lama menghabiskan hari-harinya bersama Zevrin. Zevrin seringkali menemukan perahu kertas di lacinya, yang mengingatkannya kembali kepada cintanya pada Arviga. Di masa lalu, Zevrin dan Arviga kerap membuat perahu kertas dan melepaskannya di Sungai Musi. Kenangan-kenangan itu yang membuat Zevrin kemudian mengingat akan janji mereka untuk kembali bertemu.

Di sela waktu-waktunya bersama Fathiya, Zevrin mengenal kehidupan tragis di Lebanon melalui tulisan-tulisan Fathiya di catatan lusuhnya. Serangan dan penderitaan, hingga pengungsian yang dialami oleh Fathiya beserta keluarganya menjadi penderitaan warga Lebanon lainnya. Dari kepolosan Fathiya, Zevrin mengenal Islam dan mulai memperbaiki hidupnya dengan mulai memakai hijab dan membaca Al-Quran. Hingga pada suatu hari, Zevrin telah menyelesaikan kuliahnya dan kembali ke Palembang, dia menemukan bahwa yang selama ini membuat perahu kertas yang ada di lacinya adalah Fathiya.

Zevrin kembali bertemu dengan Arviga di Palembang, ketika cinta mereka kembali bersemi dan hampir menuju ke pelaminan, Fathiya muncul kembali di hadapan Zevrin menjadi sosok pemuda yang telah banyak berubah. Dan saat itu pula, Fathiya mengungkapkan perasaannya pada Zevrin bahwa cintanya bukan sebagai seorang adik pada kakak. Zevrin yang merasa bahwa perbedaan umur mereka yang terlampau jauh membuat Zevrin menganggap bahwa perasaan cinta Fathiya padanya hanyalah kesalahpahaman. Zevrin merasa hancur dan makin terpuruk ketika Arviga memutuskan hubungan mereka karena telah merasakan perasaan Fathiya terhadap Zevrin.

Merasa keterpurukan menimpanya, Zevrin kemudian memilih bertugas di Lebanon dan mengabdikan hidupnya di wilayah konflik tersebut. Tanpa disengaja, Zevrin bertemu Wahid Assegaf, kakak Fathiya yang sedang dicari-cari oleh adiknya tersebut. Setelah pertemuannya dengan Wahid, giliran Zevrin yang mencari Fathiya yang kabarnya tidak diketahui lagi setelah kemarahan Zevrin padanya. Tak berapa lama Zevrin, Wahid, dan Fathiya bertemu kembali di Jounieh, dan kebersamaan mereka membuat mereka merasa sebagai sebuah keluarga, perjalanan-perjalanan dan waktu yang memutuskan kebersamaan antara Zevrin dan Fathiya ternyata yang menyadarkan mereka bahwa mereka saling mencintai.

***

Resensi Novel "Dari Jendela Hauzah"

Judul       : Dari Jendela Hauzah
Penulis     : Otong Sulaeman
Penerbit   : Mizania
Tahun      : 2010

Cerita ini dipenggal melalui dua narasi plot yang terpisah dan dipertemukan di beberapa bab terakhir; cerita Asep seorang santri Hauzah yang berasal dari Indonesia yang belajar di Qum – Iran; dan Dewa Darmawangsa serta Daniel Nikbakht seorang Yahudi Iran yang mengalami insiden, ketika liburan bersama keluarganya di Bali – Indonesia.

Setelah cintanya kandas karena Asep lebih memilih melanjukan studinya di Iran dan ayah Alifia, kekasihnya, murka dan meminta Asep memutuskan hubungannya dengan Alifia, tidak menghentikan niatnya untuk mendalami Islam di kampus Hauzah yang terkenal tersebut. Di sela kegundahannya pada hubungannya bersama Alifia, Asep menemukan banyak hal dan peristiwa selama dirinya belajar ilmu Islam di Iran. Asep menemukan budaya Iran yang sangat indah dan tentram, dia bertemu banyak orang dari berbagai negara, seperti Thailand, Malaysia, Myanmar, Cina, juga Philipina, meskipun demikian kelompok asal Indonesia tetap menjadi sahabat terpercaya Asep dalam menempuh studinya.

Gagasan-gagasan Islam kemudian menjadi kajian sering dibahas dalam studinya. Adalah Syeikh Abdullah yang menjadi dosen mata kuliah Aqidah dan juga seorang kepala asrama yang difavoritkan oleh santri-santri dari keseluruhan negara. Dari Syeikh Abdullah, Asep dan santri-santri yang lainnya mengenal tentang keberadaan agama, pemikiran kritis tentang gagasan-gagasan Barat/Eropa, serta wacana-wacana pemikiran tentang keruntuhan Iran sendiri. Syeikh Abdullah sangat mengagumi Murthada Muthahhari, seorang filsuf terkemuka Islam yang sangat cerdas dengan bantahannya terhadap wacana filsafat barat, meskipun dengan segala ketegasaannya, Muthahari dipandang sebagai sosok yang sangat sederhana dan bersahaja. Maka Pantaslah bagi masyarakat Iran, sosok tersebut sangat dikagumi dan memengaruhi pandangan masyarakat Iran terhadap Amerika.

Dari kisah Asep, seorang santri sederhana di Hauzah, banyak hal-hal yang dinarasikan sangat apik tentang Hauzah, Negara Islam Iran, dan masyarakatnya yang sebagian adalah keturunan Yahudi. Selain itu permasalahan-permasalahan yang melanda Asep dan teman-temannya selalu disolusikan secara Islami dan penuh hikmah. Termasuk diantaranya tentang surat-surat Alifia yang selama beberapa saat menghantui Asep, di surat terakhir berasal dari Ayah Alifia yang mengabarkan bahwa Alifia sudah meninggal dunia. Surat-surat tersebut dibaca Asep setelah melakukan nazar untuk tidak membuka surat-surat Alifia sebelum menyelesaikan semesternya. Dengan rasa ikhlas, Asep melepaskan Alifia dan mendoakannya.

Dewa dan Daniel bukanlah teman lama, mereka dipertemukan pada liburan-bisnis keluarga. Mereka akrab karena sama-sama bakal penerus perusahan besar di masing-masing negaranya. Anehnya, mereka punya kehidupan yang bersilangan: Dewa adalah warga negara Indonesia yang tidak memiliki kepercayaan terhadap agama dan memiliki kekasih seorang model terkenal, sementara Daniel adalah seorang keturunan Iran Yahudi yang tertarik mendalami Islam setelah kedekatannya dengan Wafa, gadis Lebanon muslimah yang menutup tubuhnya dari aurat. Ketika di Kuta, terjadi peristiwa pengeboman oleh teroris yang menimbulkan banyak korban termasuk kedua orang tua Dewa dan Daniel.

Dewa yang terpuruk atas kematian kedua orangtuanya tersebut, frustasi dan menutup dirinya terhadap dunia. Sementara Dewa mengutuk hidupnya sendiri, Daniel malah menjadi terdakwa dan dituduh menjadi biang keladi atas tragedi Bom Bali yang menewaskan kedua orangtuanya. Di saat Daniel membutuhkan bantuan Dewa, Dewa sama sekali hilang dari muka bumi. Hingga pada akhirnya, Dewa mengetahui kondisi Daniel dan segera menyusulnya ke Teheran, Iran. Di Kota Teheran, Dewa menemukan banyak fakta tentang pemimpin Iran, Khemenei, yang menjadi pujaan rakyat-rakyatnya, dan bahkan diantara perjalanan menuju Penjara Evin, Dewa semakin menemukan kebenaran tentang konflik besar yang membuat Daniel terancam kena hukuman gantung, yakni terorisme yang selalu dituduhkan kepada kaum muslim. Selain itu, dari Mohsen, kepala polisi yang menangani kasus Daniel, Dewa banyak mengenal Islam. Kemudian Dewa dibantu Asep untuk menyelesaikan masalah Daniel di Teheran atas informasi Syeikh Abdullah yang memercayakan Asep sebagai santri Hauzah asal Indonesia.

***

Resensi Novel "Alena"

Judul      : Alena, Selubung Cinta di Muzdalifah
Penulis     : Ifa Avianty
Penerbit   : Mizania
Tahun     : 2009

Bagi Alena, cinta adalah hal yang paling penting, itu menjadi prioritas munajatnya ketika dirinya melaksanakan ibadah haji, dirinya ingin dipertemukan dengan jodohnya. Meskipun, Haikal telah menjadi tunangannya, dan menantinya dengan setia di akhir perjalanan spiritualnya itu, Alena merasa bahwa Haikal tidak dia cintai sepenuhnya. Meskipun mereka adalah pasangan yang serasi ketika SMA, dipertemukan kembali setelah lama tidak bertemu ketika keduanya telah saling sukses dalam berkarir.

Dalam rombongan hajinya, Alena dipertemukan dengan banyak orang, termasuk Khaidir, seorang guide haji yang berasal dari Arab. Alena berusaha untuk tetap istiqomah terhadap pertunangannya dengan Haikal, meskipun hati kecilnya merasakan ketertarikannya pada Khaidir. Dalam perjalan menunaikan ibadahnya, diam-diam Alena memanjatkan doa untuk mencari jawaban atas jodohnya, antara Haikal atau Khaidir. Keteguhannya terhadap ibadah dan konflik perasaannya terhadap dua lelaki yang dicintainya membuat sedikit kebimbangan dalam dirinya. Diantara gejolak perasaannya, dirinya diingatkan pada pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh Islam untuk meneguhkan keimanannya.

Dalam kesungguhannya, dirinya merasakan kerinduan pada Haikal untuk tetap mencintai dan dengan sabar menerima Haikal sebagai calon suaminya kelak saat pulang ke tanah air. Dan di saat itu pula, Alena mengikhlaskan perasaannya terhadap Khaidir dan meneguhkan hati pada Haikal dan berniat mencintainya sepenuh hati, sebagai seorang perempuan yang setia pada orang yang menantinya. Akan tetapi, peristiwa tidak terduga ternyata di alami oleh Alena ketika dirinya pulang dan bertemu dengan Haikal, Haikal sendiri yang memutuskan untuk mengakhiri pertunangannya dengan Alena karena Haikal merasa bahwa Alena akan lebih bahagia tanpa dirinya.

Merasa bahwa cintanya terhadap Haikal dipadamkan ketika cintanya mulai berkobar, Alena merasa terpuruk dan membuatnya membenci Haikal. Terlebih bahwa Alena merasa bahwa dirinya sudah berkorban banyak untuk Haikal dengan lebih memilih Haikal ketimbang Khaidir. Alena merasakan kepedihan dan amarah yang memuncak ketika beberapa tahun kemudian dirinya melihat Haikal akan menikahi perempuan lain. Tak berapa lama, dirinya kembali dipertemukan dengan Khaidir di suatu acara. Dia menemukan bahwa Khaidir dipanggil abi oleh seorang anak. Alena lari menangisi kegagalan kedua cintanya, dan menganggap bahwa semua hal yang dia nanti selama ini adalah sebuah kesia-siaan. Yang terjadi ternyata adanya kesalahpahaman antara Khaidir dan Alena, yang saat itu kenyataan diluruskan oleh Khaidir bahwa dirinya belum menikah, dan saat itu pula Khaidir melamar Alena.

***

Resensi Novel "Surat Panjang Tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya"

Judul      :Surat Panjang Tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya
Penulis     : Dewi Kharisma Michellia
Penerbit   : Gramedia
Tahun     : 2013

Bundelan 37 surat beserta keping CD yang telah ditranskrip, dikirim oleh seseorang tanpa nama pada seorang pria di Agustus 2013. Catatan pengirim menyatakan bahwa surat-surat tersebut ditujukan pada pria tersebut dan telah ditulis ulang oleh seorang anak pemilik toko buku dimana surat-surat itu didapat dan pada akhirnya bisa dikirim kepada yang dituju.

Surat-surat itu diawali di 23 Juli 2008 dan berakhir di surat yang tercantum tanggal 26 Juni 2011. Surat-surat panjang tersebut merupakan kisah seorang reporter wanita keturunan Bali-Bima yang tinggal di Ibukota. Di dalamnya tidak hanya memuat perjalanan cintanya yang getir, tetapi juga pandangannya terhadap kehidupan sosial, politik, serta budaya Indonesia.

Pria yang dituju dalam surat dialiaskan dengan nama Tuan Alien adalah cinta pertama sang penulis surat. Padanya si penulis tersebut menceritakan kegelisahannya, termasuk rasa sedihnya ketika dirinya mendapatkan surat undangan pernikahan Tuan Alien dengan seorang selebritis yang juga penulis best seller. Awalnya surat tersebut hanya sampai tanggal 30 Juli 2011, yang merupakan hari pernikahan Tuan Alien. Akan tetapi, surat-surat tersebut dibatalkan untuk diberikan sebagai kejutan pernikahan, dan atas saran Tuan Pemilik Toko-sahabatnya, surat-surat tersebut baiknya dilanjutkan ditulis.

Pesta pernikahan di Bali tersebut kemudian menjadi napak-tilas memori sang penulis terhadap kehidupan masa lalunya yang rumit. Di Bali itulah dia menjelajahi tempatnya dibesarkan sebelum kemudian pindah ke Bima bersama kakak-kakaknya di rumah neneknya, meninggalkan ibu yang kesepian di Bali. Di sanalah dia menemukan cinta-cinta yang ditinggalkan dan diabaikannya selama ini, dari mulai keluarga hingga pria yang katanya rela menantinya hingga mati. Hingga dia kembali ke Jakarta, dirinya menemukan bahwa dia sendiri dan terasing di usianya yang keempat puluh tahun. Dari sanalah kemudian dia mulai membuka hatinya untuk menerima comblangan Nyonya Pemred pada seorang seniman yang bisa membuatnya jatuh cinta dan menemukan kembali kepingan kehidupannya yang dianggapnya telah remuk. Kekasihnya itu mengenalkannya pada keindahan Yogyakarta hingga mampu membuka kepedihan ibu si penulis terhadap kesendiriannya. 

Dalam suratnya di 16 Februari 2009, dirinya menemukan kondisi kesehatannya mulai menurun. Terlebih kekasihnya pergi untuk tur orkestra ke Jerman. Dan setelah itu, barulah segala kebahagiaan yang baru saja dirasakannya perlahan kembali luntur dan terenggut; dirinya difonis kanker; dan kekasihnya diam-diam menghamili anak didiknya sendiri saat di Jerman. Hanya Tuan Pemilik Toko dan anaknya yang menemaninya di kondisi-kondisi terakhirnya. Dan surat-surat yang dia mampu tuliskan berakhir di 26 Juni 2011.

Hingga pada akhirnya seseorang tanpa nama kemudian berinisiatif mengirimkan surat-surat tersebut kepada tujuannya: Tuan Alien. Di bagian sampul buku belakang, adalah jawaban bagaimana nasib surat-surat itu kemudian.

***

Jumat, 15 April 2016

Kebon Binatang Di Dalam Kampus Yang Mengharu Biru

Bonbin. Semua tahu itu adalah kebon binatang. Tetapi di sini, tidak akan dibahas taman rekreasi yang isinya penuh oleh aneka satwa. Bagi yang pernah menginjakkan kaki di Kampus Bulaksumur, tempat ini akan identik dengan sebuah kantin biasa yang letaknya diapit oleh dua fakultas; Ilmu Budaya dan Psikologi.
Kemudian apa yang membuatnya istimewa dibanding kantin-kantin lainnya? Terlebih jika melihat di kalangan kaum muda, café-café telah menjadi bagian hidup masyarakat urban kekinian. Iya. Bonbin memang Kebon Binatang, bedanya hanya ada sedikit binatang di sana; serangga, cicak, dan kucing. Jika melihat fungsinya, Bonbin tak lebih dari sebuah kantin yang di dalamnya menjual makanan penghilang lapar dan dahaga. Dengan membawa uang seribupun, pengunjung bisa mendapatkan makanan maupun minuman. Atau jikalau pengunjung kere sekalipun, setidaknya bisa makan tanpa bayar dari kebaikan hati pedagang-pedagangnya. Bangunannya hanya dilindungi seng yang akan menaikan suhu jika cuaca panas dan menimbulkan suara berisik rintik hujan jika musim penghujan. Tidak ada steak, es krim, sop buntut, apalagi pizza, hanya nasi dan sayur mayur, siomay atau batagor, kwetiau hingga tahu gimbal. Jangan tanya soal rasa, yang datang bukan untuk memanjakan lidah, mereka di sana untuk membungkam bunyi perut yang kelaparan, dan mengguyur tenggrokan yang kering kehausan.

Lalu apa yang istimewa dari Bonbin ini? Tulisan ini pun tidak bermaksud melebih-lebihkan Bonbin, tidak pula untuk menjatuhkan namanya. Sekali lagi, ini hanya KANTIN BIASA yang isi penghuninya bukan hanya mahasiswa, ada kuli bangunan hingga professor makan di sana. Dalam satu atap yang sama, mereka menunjukkan satu kesamaan bahwa mereka manusia biasa, yang ketika lapar dan dahaga, mereka bernaung di bawah seng yang sama, makan makanan yang sama, duduk di bangku dan meja yang sama. Pengunjung jenis apapun bisa di sana dari pagi buta hingga malam merayap, tanpa ada yang bertanya, “Kamu siapa?”.

Kantin pula adalah sebuah mata pencaharian. Maka Bonbin pun adalah sebuah pertemuan transaksional seperti badan usaha lainnya. Ada penjual ada pembeli. Ada ada produsen ada konsumen. Mahasiswa belajar mendapatkan pundi-pundinya, dengan menitipkan barang dagangannya di salah satu kios di Bonbin. Tidak hanya manusia, akan banyak terlihat kucing berkeliaran di sana, yang sama-sama mempertahankan hidupnya; mencari makanan sisa atau dapat sepotong daging dari belas kasihan manusia.

Café berkelas akan banyak ditemukan di dalamnya manusia-manusia kekinian. Yang datang dengan wewangian dan pakaian paling masa kini. Sepatu mengkilap dengan tas merk terkenal. Dan yang paling hina ketika datang ke sebuah café tersebut adalah jika lupa membawa gadget, yang ada kameranya tentu. Karena tujuan ke sana adalah menunjukan pada dunia bahwa I WAS HERE. Tidak perlu berisik dengan perbincangan hangat, cukup bercakap melalui sosmed dengan teman di seberang meja. Dan jangan datang ke sebuah café tanpa wifi, akan rugi rasanya membayar mahal tanpa men-share keberadaan dengan kuota sendiri.

Tidak. Bonbin menjamin tidak akan ditemukan manusia semacam di atas. Bangku usang dengan bau asap rokok merajalela, makan di samping tempat sampah, dengan hilir mudik manusia-manusia yang mungkin saja datang belum mandi. Tak perlu sepatu mahal untuk datang ke Bonbin, jangankan sandal jepit, tidak beralaspun, orang-orang di sana tidak akan bertanya karena mereka yang datang belum tentu merasa rapi. Di balik bangku usang dan bau apek rambut gimbal dan jabrik, mahasiswi-mahasiswi berkaus lusuh dengan make-up luntur karena keringat, atau pegawai-pegawai yang datang terbirit hanya sekedar untuk merokok di sela istirahatnya, adalah ciri khas Bonbin yang membuatnya berbeda dengan kantin lain di sekitar kampus.

Duduklah di bangku manapun, akan ditemukan perbincangan panas mengenai isu dunia, yang keluar bersama asap-asap rokok yang mengepul. Dari secangkir kopi panas seharga dua ribu rupiah. Kita tidak akan pernah tahu siapa yang duduk di sana, yang nantinya mungkin akan memimpin Indonesia yang pernah menjadi mahasiswa lusuh yang hanya punya uang lima ribu di sakunya. Perempuan-perempuan cantik di luar sana, berdandan elok menghabiskan ratusan ribu untuk secangkir kopi untuk selfie cantik, dan merelakan waktunya untuk membicangkan harga bedak, harga beras, harga panci, atau harga popok. Perempuan kusam di Bonbin sana, memahami budaya populer semacam itu. Dan mereka merelakan waktu untuk memahami dunia dengan membicarakan Said, Bourdieu, hingga Marxis. Jangan tanya akses wifi yang naik turun jika berada di Bonbin. Karena pengunjungnya tak peduli. Ketika manusia-manusia kekinian di luar sana membayar mahal untuk men-share dirinya pada dunia. Di Bonbin sana, kau akan berbincang langsung dengan manusia-manusia dari Sabang hingga Merauke. Dari Belanda hingga Korea. Semua pengunjungnya akan membayar dengan harga yang sama. Mencicipi makanan dan minuman yang sama dengan mahasiswa lainnya, dengan kuli, pegawai, dosen hingga professor sekalipun.

Bonbin adalah kantin lusuh. Yang sama sekali tidak cantik. Ibarat bercak jerawat di wajah yang harus disingkirkan. Atau dipindahkan. Sejauh mungkin. Lalu siapa yang akan berteriak? Tentu saja manusia-manusia tadi, atau jikalau mungkin bisa, termasuk kucing-kucing penghuninya. Di mana akan ditemukan tempat murah untuk makan dan minum, untuk istirahat merokok, berbincang menggunakan verbal bukan teks yang dikirim dengan kuota? Kemana mahasiswa-mahasiswa revolusioner bisa mendiskusikan pemikiran muda mereka? Bagaimana caranya para kuli dan buruh beristirahat minum makan dan merokok dengan uang sepuluh ribunya? Apakah ada tempat di mana seorang mahasiswa bisa duduk satu meja dengan dosennya, bercengkrama tanpa merasa ada sekat ruang kelas yang membelenggu mereka? Jangan tanya nasib mata pencaharian pedagang serta mahasiswa yang berwirausaha kecil-kecilan nantinya karena dunia sedang sibuk memikirkan bagaimana tampil selfie cantik di jejaring sosial, tentu dengan kuota. Berteriak semampu dan sebisa mungkin jika keadaan menekan adalah hal yang wajar. Ibarat kucing Bonbin yang tak bisa menyuarakan nasibnya, yang berteriak pun bingung mesti teriak pada siapa.


Jangan terlalu terbebani dengan kasus Bonbin ini. Bonbin hanya kantin biasa. Sekali lagi. Layaknya kehidupan, semua ada awal dan akhirnya. Seperti roda sepeda yang sedang disosialisasikan sebagai kendaraan alternatif pengurang lahan parkir di Kampus Bulaksumur. Gunakanlah agar polusi udara tidak melunturkan birunya kampus biru. Agar sehat jasmani penggunanya seimbang dengan keindahan masjid di kampusnya yang menyehatkan rohaninya. Jika masih bersikeras menggunakan motor, resiko mencari lahan parkir seharian akan dirasakan, terlebih setelah diratakannya area parkir di fakultas berbudaya.Gunakanlah sepeda, tidak sulit bukan? Harganya juga tidak seberapa. Tidak perlu uang bensin. Cukup siapkan air putih satu galon jika sanggup karena udara dan cuaca di Jogja sedang panas-panasnya. Terlebih dengan proyek-proyek pencakar langitnya, bangunan ratusan jendela dan lantai yang bertingkat-tingkat. Mesin-mesin bising yang mengganggu perkuliahan. Gunakanlah sepeda. Sekali lagi. Meskipun lajunya tidak secepat kendaraan-kendaraan proyek yang lalu-lalang. Apa sulitnya menggunakan sepeda? Setidaknya bisa menyeimbangkan udara yang sedang dicemari proyek-proyek daripada asap rokok dan asap knalpot yang katanya lebih berbahaya untuk manusia.

***