Sabtu, 23 Desember 2017

Pos-Islamisme Dalam Novel Ayat-Ayat Cinta 2

Tulisan ini merupakan resensi atau resume novel "Ayat-ayat Cinta 2" mengenai peran, posisi, serta tema besar yang diangkat dalam fiksi pop islami di Indonesia. Sebagai sastra populer, "Ayat-ayat Cinta 2" menjadi bagian dari produksi besar fiksi bergenre pop islami.
Judul : Ayat-ayat Cinta 2
Penulis : Habiburrahman El Shirazy
Tahun : 2015
Penerbit : Republika

Seakan menggugat happy ending story yang telah tujuh tahun terbenam, kisah Fahri dan Aisha menarik kembali pembacanya pada nuansa eskapisme fiksi populer islami. Kali ini ada beban berat yang dipikul sekuel Ayat-Ayat Cinta ini. Terdapat narasi-narasi besar yang menjadi misi sebuah fiksi pop islami yang tidak hanya memberikan pengalaman fiksi islami yang menghibur, tetapi juga mengangkat konten yang tengah memanas secara universal, menghadirkan Fahri dan situasinya berada di tengah lingkungan tetangganya yang selalu problematik baik di Ayat-Ayat Cinta maupun Ayat-Ayat Cinta 2, dan sikapnya yang tidak bisa melihat orang lain menderita.

Tantangan yang dialami Fahri dalam Ayat-Ayat Cinta 2 seakan menjadi ketakutan muslim sedunia. Wacana-wacana dan justifikasi masyarakat di negara mayoritas nonmuslim terhadap Islam saat ini, dikemas ke dalam kisah seorang muslim di Eropa. Hal tersebut akan terasa berbeda jika melihat kisah Fahri Abdullah saat masih menjadi mahasiswa Indonesia miskin di Mesir pada Ayat-Ayat Cinta. Inilah yang hendak diangkat oleh Habiburrahman El Shirazy, bahwa pengalaman seorang muslim akan berbeda tergantung situasi, kondisi, dan tempatnya.

Meskipun terdengar naif, fiksi populer selama ini dianggap sebagai sastra yang hanya menghadirkan bentuk baru tanpa mengedapankan isi. Pada periode saat ini akan sulit menemukan perbedaan sastra populer dan sastra adiluhung atau serius. Fiksi pop islami menghadirkan moralitas, humanisme, religius, sekaligus membawanya pada gairah eskapisme sastra populer.Terdapat pengalaman baru dalam kesusastraan Indonesia kontemporer, bahwa setelah runtuhnya Orde Baru, wacana Islam menemukan kebangkitannya, mencairkan stereotip Islam yang konvensional menjadi sebuah fenomena baru dalam budaya populer sebagai Islam moderat, termasuk di antaranya dalam fiksi pop islami.

Ayat-Ayat Cinta 2 mungkin masih mengikuti pola genre fiksi populer, mengikuti selera pembacanya, mengetengahkan Islam dengan gradasinya dengan genre-genre mapan lainnya; romance, travel writing atau fiksi perjalanan, fiksi sejarah, fiksi biografi, atau bahkan genre misteri. Banyak genre yang mungkin bisa hadir mengikuti perkembangan selera pembacanya, dan dalam hal ini Ayat-Ayat Cinta 2 muncul memenuhi kriteria tersebut. Wacana serius yang dipikul Fahri menarik untuk dicermati. Bukan dari perspektif eskapis, lebih ke bagaimana sastra populer saat ini mengemban misi besar namun dikemas dalam formulasi genre fiksi populer.



Dari Romance ke Travel Writing

Tidak bisa dipungkiri, kehadiran Forum Lingkar Pena pada 1997 telah menggerakkan fiksi bernuansa islami ke dalam bentuk fiksi populer. Perubahan itu menghadirkan genre baru di dalam gaya kepenulisan kesusastraan Indonesia bernama fiksi pop islami. Kebangkitannya menggeliat saat Ayat-Ayat Cinta dialihwahanakan ke dalam film dengan judul yang sama. Hal tersebut menjadi fenomena dalam budaya populer yang menyelaraskan Islam dan konsumerisme.

Pembaca Ayat-Ayat Cinta akan merasakan perubahan formulasi cerita dengan Ayat-Ayat Cinta 2. Kendatipun kisah cinta Fahri masih menjadi daya tarik utama, namun ada penegasan pada bab awalnya yang menunjukkan eksotisme Edinburgh yang jauh berbeda dengan kegersangan Mesir pada Ayat-Ayat Cinta. Keutamaan fiksi travel writing adalah adanya misi perjalanan tokoh-tokohnya yang jauh dari tempat lahirnya. Perasaan jauh yang dimiliki Fahri adalah ketika dirinya hadir di tempat yang bukan mayoritas penganut Islam.

Genre travel writing menampilkan petualangan perjalanan di tempat asing. Gradasinya dengan unsur-unsur keislaman ditumpahkan pada peristiwa dan bangunan bersejarah Islam. Hal ini mengingatkan kaum muslim pada hijrah yang dilakukan para nabi, rasul, dan sahabat-sahabat nabi dalam menyebarkan dakwah dan jihad. Begitupun Fahri sebagai seorang tokoh muslim yang mengemban beban berat terhadap posisinya sebagai kaum minoritas di Britania Raya. 

Fahri tidak hanya menjadi dosen di salah satu universitas ternama di Inggris, tetapi juga pengusaha yang mengembangkan bisnis berlabel halal di Eropa. Tantangannya adalah harus bertetangga dengan beberapa warga yang membenci Islam, pemeluk Yahudi, dan perempuan modern pemabuk. Suatu tempat yang jika dibayangkan akan mencekam bagi seorang muslim.

Walaupun begitu, El Shirazy menunjukkan indahnya beribadah di antara segala tantangan tersebut dengan bertemunya Fahri dengan sesama muslim dari beragam negara, shalat berjamaah di masjid raya, dan merayakan momen-momen pertemuannya dengan Misbah, sahabatnya saat di Mesir. Dan tentu saja menunjukkan betapa indahnya perbedaan.

Pertarungan Identitas

Pertemuan Fahri dengan Aisha melalui kejadian diserangnya Alicia di metro oleh para muslim Mesir dengan alasan Alicia seorang nonmuslim memperlihatkan posisi non-Islam di negara Islam. Akan terasa pergerakan wacana identitas saat membaca Ayat-Ayat Cinta 2 ketika seorang muslim yang menjadi objek warga nonmuslim. Beban berat yang diemban fiksi pop islami pada dekade ini adalah perspektif muslim untuk melunturkan wacana labelisasi Islam sebagai agama radikal. Peristiwa 9/11 telah mengglobalkan Islam sebagai kaum ekstremis karena teror yang belakangan menggema membawa ikon agama.

Seakan menyuarakan kegelisahan umat muslim dunia terhadap serangan identitas Islam yang selalu dianggap teror bagi umat nonmuslim. Hal ini mengingatkan pada film serial komedi situasi remaja Amerika, Alien in America, yang sempat tayang sekitar tahun 2005. Acara tersebut menrepresentasikan posisi remaja muslim Pakistan di Amerika Serikat.

Ayat-Ayat Cinta 2 membawa pembaca pada pelunturan identitas Arab yang selalu diidentikkan dengan muslim. Beberapa teks mengarahkan pada tokoh-tokoh keturunan Arab yang bersikap tidak islami. Seperti salah satu karyawan Fahri, seorang warga Inggris nonmuslim. Ia digambarkan sebagai sosok yang humanis dan toleran ketika mengingatkan Fahri untuk memberikan ruang shalat di restoran halalnya. Sementara karyawan Fahri lain yang beragama Islam memberi saran untuk meningkatkan kualitas manajerial perusahaan agar lebih menguntungkan secara materi.

Ciri khas lain dari formulasi genre travel writing adalah ragam etnis yang ditemui oleh Fahri di Inggris Raya, tempatnya tinggal. Tema multikulturalisme yang ingin disampaikan secara tersirat inilah yang menjadi tantangan Fahri untuk beribadah di negara yang bukan mayoritas Islam. Posisi Fahri sebagai seorang muslim dari Indonesia mewakili identitas muslim Indonesia di Eropa. Lebih dari itu, sosok Fahri yang digambarkan seorang muslim taat, baik hati, dan dermawan tetap menjadi daya tarik seorang lelaki ideal para muslimah.

Islamisme ke Pos-Islamisme

Ariel Heryanto pernah membahas bagaimana wacana pos-Islam hadir dalam proses produksi film Ayat-Ayat Cinta karya Hanung Bramantyo. Pos-islamisme merupakan gerakan politik Iran yang hadir dalam gejolak pra dan paska Revolusi Islam Iran yang diamati oleh Asef Bayat dalam bukunya Post-Islamism: The Changing Face of Political Islam. Meskipun asumsi gerakan pos-Islam dalam Ayat-Ayat Cinta 2 masih hipotetis, namun secara gejala, pos-Islam hadir kentara dalam teks-teks yang ditulis oleh Habiburrahman El Shirazy.

Terdapat beberapa ciri identik pos-islamisme yang terjadi dalam gerakan politik Islam Iran: munculnya gerakan kaum perempuan yang menghendaki pilihan untuk tampil sebagai perempuan modern namun tetap islami; aksi-aksi yang dilakukan oleh pemuda-pemudi Iran; dan terbukanya akses keluar masuk jalan yang semula ditutup membaurkan budaya Islam dan budaya Barat (Amerika dan Eropa). Sekilas, tampak gerakan revolusioner pos-islamisme merupakan gerakan politis. Namun, dapat dikatakan, terdapat gejala yang sama dalam gerakan epistemologis dalam Ayat-Ayat Cinta 2.

Pertama, muslimat maupun perempuan nonmuslim yang lalu lalang dalam teks menjadi eksotisme utama, terlebih dalam fiksi pop islami. Salah satu formulasinya adalah eksotisme perempuan etnis atau keturunan Arab, dengan membuatnya (makin) ideal dengan hijab namun tetap modis, menggunakan boots, gadget, tidak bercadar, moderat, terpelajar, dan (tentu saja) digambarkan cantik.

Sabrina adalah salah satu perempuan yang ditemui Fahri digambarkan berwajah rusak dan memiliki identitas misterius. Hadir pula Hulya, saudara Aisha yang mengingatkan Fahri pada istrinya yang hilang di Palestina; Brenda, tetangga Fahri yang hobi ke bar bersama teman-temannya; Keira yang membenci Fahri karena kematian ayahnya akibat bom terorisme; serta wanita paruh baya Yahudi, tetangga Fahri yang taat beribadah.

Hilir mudiknya perempuan-perempuan dalam kisah Fahri tersebut menggambarkan bagaimana fiksi pop islami memberikan ruang tampil bagi beragam tokoh perempuan. Yang perlu digarisbawahi pula adalah kehadiran mereka yang tidak hanya muslim, tetapi juga nonmuslim.

Kedua, salah satu kriteria fiksi populer adalah dengan melibatkan tokoh-tokoh muda sebagai penggerak narasi. Sebagian besar pembacanya berusia muda yang memiliki waktu luang untuk membaca. Pembaca muda lebih mudah terideologikan dengan gagasan-gagasan di dalam fiksi. Dengan kata lain, pemuda menjadi media sekaligus perantaranya. Perlu diingat bahwa Revolusi Islam Iran lebih banyak digerakkan oleh kaum muda.

Terdapat tokoh remaja Inggris bernama Jason, adik Keira yang diperlakukan baik oleh Fahri, meskipun Jason sempat bersikap tidak ramah padanya. Persahabatan Fahri dan Jason mengantarkan narasi yang menghangatkan cerita. Fahri sendiri digambarkan sebagai pemuda religius yang terpelajar dan moderat, mewakili pemuda yang selalu ingin tahu dan ingin maju.

Ketiga, berbaurnya dua budaya—Islam dan Eropa—dalam Ayat-Ayat Cinta 2 menggambarkan harmonisasi muslim dan nonmuslim. Dalam alurnya, keduanya memiliki konflik ketegangan mengenai terorisme, radikalisme, dan fanatisme sebagai isu sentral Islam di mata dunia.

Namun gagasan yang ingin ditunjukkan El Shirazy adalah mencairkan identitas yang telah dijelaskan sebelumnya. Bahwa tidak semua Etnis Arab memiliki sikap islami, pun non-Islam yang bersikap sebaliknya. Hal tersebut ditegaskan Bayat bahwa ketika periode islamisme yang dibahas adalah mana yang Islam dan mana yang bukan, pos-islamisme menyuarakan mana Islam dan mana yang sangat Islami.

Melalui tindak pembacaan yang serius, gejala-gejala dalam fiksi populer tak hanya hadir sebagai sebuah fenomena selera pembaca, produksi masif, atau hanya sebagai eskapisme belaka. Fenomena budaya populer merupakan kondisi kebangkitan hasrat individu yang berubah menjadi subjek kolektif. Meledakkannya, menjadi sebuah fenomena massal yang membangkitkan minoritas menjadi mayoritas.

***

Review ini telah disebarluaskan sebelumnya melalui media daring Jurnal Ruang https://jurnalruang.com/read/1513930302-pos-islamisme-dalam-ayat-ayat-cinta-2#V pada tanggal 22 Desember 2017

versi pdf dapat diunduh di https://www.academia.edu/35497232/Pos-Islamisme_dalam_Novel_Ayat-ayat_Cinta_2

gambar diunduh dari http://imansulaiman.com/wp-content/uploads/2017/11/buku-novel-ayat-ayat-cinta-2-karya-habiburrahman-el-shirazy.jpg

Sabtu, 17 Juni 2017

Melankolia dan Bentukkan Ruang Skizofrenia dalam “Semua Ikan di Langit” Karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie

Judul : Semua Ikan di Langit
Penulis : Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
Penerbit : Grasindo
Tahun : Februari 2017

Okay, katakanlah begini: kadang-kadang SNDKJ (maaf, ini bukan nama girlband) tidak pernah salah memenangkan novel sebagai juara. Kali ini, “Semua Ikan di Langit” karya Ziggy blablabla (saya gak sanggup nulis nama belakangnya), membuat lama sekali dituntaskan bacanya. Biasanya satu novel bisa diselesaikan satu malam, ya, seperti lagu dangdut yang itu. Novel ini benar-benar menguras nalar dan fantasi saya terlempar jauh ke langit-langit.

Setiap babnya, saya tutup bukunya, kemudian mengembarakan imaji pada hal-hal detail yang tidak pernah saya sadari mampu dipikirkan. Bagaimana sebuah bus damri jadi tokoh utama dan menceritakan banyak hal. Terlebih bisa naik-turun, melaju-terbang, ke bumi-angkasa, marah-bahagia, dalam satu kisah.

Bus damri mengingatkan saya pada masa-masa SMA, ketika ‘akuarium’ ini jadi benda paling ditunggu ketika masa kere tiba. Ongkosnya ketika itu seribu rupiah. Dan jujur saja kemampuan teater saya terasah gara-gara bus ini: memasang mimik pura-pura sudah bayar pada kondektur agar tidak ditagih. Juga tentu saja,kemampuan bersabar penumpangnya jangan ditanya, bus ini bisa jadi melaju dengan kecepatan 0,05 KM/Jam, tidak, saya tidak bercanda. Pernah saya hitung karena bus ini sering sekali mogok dan didorong karena bikin macet.

Iya, novel ini bukan tentang keindahan bahari, ikan dan pantai. Apalagi latarnya Bandung, tidak ada cerita mengenai laut, kecuali Bandung Lautan Api. Ceritanya sederhana; sebuah bus damri yang melaju mengelilingi kota ditemani seekor kecoak dan seorang anak kecil yang mampu menerbangkan bus itu ke angkasa dengan bantuan ikan julung-julung. Mereka membawa pada kisah-kisah haru kehidupan –juga kematian, dengan mengemasnya sangat ekslusif ke dalam kata-kata fantasi yang fantastis.

Teks-teks seperti ini, baru-baru ini hits dalam kesusastraan Indonesia. Teks-teks yang jauh melampaui postrukturalisme, saya pikir ini masuk ke dalam teks-teks posmodernisme, yang seingat saya merupakan teks-teks skizofrenia. Skizofrenia merupakan tata bahasa yang keluar dari struktur teks, membangun struktur sendiri. Itulah kenapa teks-teks hyperfantasy marak dalam novel-novel saat ini. Dalam novel karya Ziggy ini, ada ruang yang dibangun oleh penulisnya, yang tidak biasa, tidak terdefiniskan, atau tidak tergambarkan oleh dunia nyata. Ruang angkasa yang ditata bukan ruang angkasa yang dikenal, lebih kepada ruang baru yang dibuat, sebuah ruang yang membawa pembaca pada dunia buatan Ziggy. Itulah kenapa teks-teks seperti ini dikatakan Skizo, kalau tidak salah tulisan mengenai Skizofrenia dalam teks ditulis Deleuze (nanti saya baca-ulang, hehe).

Saya pikir, ruang ini berbeda dengan yang digagas Lyotard mengenai Artificial Life. Tidak ada kenyamanan di dalam ruang ini. Lebih kepada escape yang memberontak dari struktur bahasa, tanpa dibangun dari struktur sebelumnya. Ruang angkasa yang digambarkan tidak berhubungan dengan ruang nyata. Bukan pula bentuk oposisi Bumi-Angkasa, tetapi Bumi-Ruang Fantasi. Bumi menjadi ruang nyata yang dystopia, sementara ruang fantasi menjadi ruang baru yang imajiner.

Membaca teks seperti ini, akan sia-sia jika menilai nyata-fiktif, atau realis-fantasi. Teks seperti ini menjadikan pembaca sabar dan masuk pada gambaran yang diantarkan penulisnya. Mengenal dan menerima bentuk-bentuk baru yang tidak dipahami sebelumnya. Seperti halnya kita memahami bahwa ‘penderita’ skizofrenia, bukan untuk diobati pada dunia real, tetapi lebih ingin dipahami, bahwa secara tidak sadar semua individu memiliki ‘ruang’ imajinernya sendiri, tanpa ingin dipaksa ‘disadarkan’ pada ruang buatan manusia.

***

Kamis, 16 Maret 2017

“Menolak Tradisi, Bertolak dari Tradisi”: Latar Belakang Kehidupan Godi Suwarna dan Karya-karyanya

Sastrawan asal Tasikmalaya, Jawa Barat, Godi Suwarna, merupakan salah satu sastrawan produktif yang banyak melahirkan karya sastra, diantaranya sajak, cerpen, novel, serta naskah drama. Aktif dan produktif semenjak gemar membaca Majalah Mangle serta karya- karya sastra Danarto, Ramadan KH, juga tembang-tembang Sunda Cianjuran dan kawih-kawih Mang Koko di radio. Meskipun karya-karyanya berbahasa Sunda, cerita yang disampaikan merupakan variasi atas apa yang terjadi dalam kehidupan sosial politik Indonesia, seperti dalam novel Sandekala dan Deng yang menceritakan tentang semerawutnya Bangsa Indonesia akibat korupsi yang merajalela dan pengaruhnya terhadap rakyat jelata. Tulisan ini akan memaparkan biografi Godi Suwarna, latar belakang kehidupan, karya-karya sastra yang dibacanya dan pengaruh terhadap karya-karya yang dilahirkannya.

Godi Suwarna, seorang penyair, cerpenis, novelis, dan dramawan Sunda ini dilahirkan di Tasikmalaya pada 23 Mei 1956. Lulusan Bahasa Indonesia IKIP Bandung ini juga berprofesi sebagai guru dan redaktur di Sipatahunan. Mulai mengarang puisi dan prosa dalam bahasa Sunda sejak tahun 1976 saat masih duduk sebagai mahasiswa IKIP. Pernah ikut bermain, menyutradarai, dan menulis lakon, antara lain dalam Burung-burung Hitam, Orang-orang Kelam, Gaok-Gaok Geblek dan Gor-Gar. Selain mengarang, juga suka bermain drama sejak kecil. Saat kuliah, mendirikan Teater IKIP Bandung dan ikut bermain di Studiklub Teater Bandung. Penulis cerita pendek dalam Bahasa Sunda ini sempat mengikuti Utan Kayu International Literary Biennale dan International Poetry Festival Indonesia 2006. Dia telah menghasilkan sedikitnya lima kumpulan puisi, yaitu Jagat Alit (1978), Surat-surat Kaliwat (1984), Blues Kere Lauk (1994), Sajak Dongeng Si Ujang (1996), dan Jiwalupat. Dua kumpulan cerpen, Murang Maring (1982) dan Serat Sarwasastra. Dua novel, Sandekala (2007) dan Déng (2009). Juga satu naskah drama, Durmayudha, yang ditulisnya saat masih di IKIP Bandung.

Dibesarkan di lingkungan yang sangat kental dengan kesenian Sunda. Ayahnya piawai memainkan alat musik kecapi, dan ibunya mahir menembangkan tembang cianjuran. Sejak kecil selalu dibacakan cerita-cerita dari majalah Manglé, gemar membaca, dan mengikuti kelompok sandiwara Kampung Kondang yang diselenggarakan setiap hari Sabtu malam di kampungnya. Keakrabannya dengan dunia kesenian, dan ditemukannya Godi oleh Wawan A. Husein sebagai pemandu bakat saat di IKIP Bandung, barulah ia mengenal dunianya yang sebenarnya.

Kreativitasnya dalam mengolah kata dan berkesenian membuatnya mendapat banyak penghargaan. Penghargaan-penghargaan yang diperoleh Godi diantaranya: Sutradara Terbaik PORSENI tingkat Jawa Barat (1980), dan tingkat Nasional (1981), Tengul karya Arifin C. Noor; Hadiah Sastra Rancagé untuk Kumpulan Puisi Blues Kere Lauk (1993); Hadiah Sastra Rancagé untuk cerpen Serat Sarwasastra (1996); Hadiah Sastra Paguyuban Pasundan untuk Novel Sandékala (1998); Hadiah Sastra Oeton Moechtar untuk Novel Déng (2000). Godi Suwarna mencintai tembang-tembang Sunda Cianjuran, kecintaannya terhadap tembang melankolis ini memengaruhi sajak-sajaknya. Sajak Alit (1979) banyak terpengaruh oleh tembang-tembang Sunda yang didengarnya semenjak kanak-kanak.


JAGAT ALIT
Hareupeun kelir : kalangkang-kalangkang wayang
Kalangkang usik-usikan, kalangkang di obah-obah
Ieu rendeuk reujeung igel, ieu tincak reujeung ketak
Pulang-anting, pulang anting lebah dunya hideung bodas
Dongeng naon anu rék midang? dalang kawasa!
Aya raga nu tumamprak sanggeus campala noroktok
Sabot nungguan balebat, duh peuting ngajak ngalinjing
Renghap ranjug, renghap ranjug saméméh ajal ngolébat

Puisi Jagat Alit merupakan kisah masa mudanya yang penuh dengan lika-liku kehidupan, tentang kegelisahannya akan konsep kematian[1]. Awal kegemarannya menulis puisi adalah ketika Godi bisa mengutarakan perasaannya lewat kata-kata puitis, yang baginya lebih nyaman menggunakan kosakata Bahasa Sunda karena memiliki banyak variasi kata untuk menggambarkan makna. Setelah itu, Godi gemar menulis cerpen dan novel.


diunduh dari https://contohpantunpuisicerpen.blogspot.co.id

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ahid Hidayat yang berjudul Enam Cerpen Karya Godi Suwarna: Dongeng Metaforis dan Maknanya, motif yang membangun keenam cerpen Godi memiliki tema yang beragam, namun menyoroti satu persoalan, yakni kondisi manusia. Pada dua cerpen ditemukan motif yang umum terdapat dalam karya-karya absurd, yakni motif perasaan terasing dan motif rutinitas. Artinya, memang benar bahwa ada cerpen Godi Suwarna yang bersifat absurd, namun tidak semua cerpennya bisa disebut absurd. Cerpen Godi Suwarna menunjukkan adanya hubungan yang beragam dengan konteks jaman. Telaah yang dilakukan juga menunjukkan banyaknya penggunaan metafora. Karena itu, cerpen-cerpen Godi Suwarna dapat dianggap sebagai dongeng-dongeng metaforis. Peristiwa-peristiwa yang dipandang ajaib, tidak masuk akal, atau menyimpang dari realitas fiktif, secara metaforis mempunyai makna yang bersifat tersirat dan berhubungan dengan konteks jaman. Inilah yang melahirkan anggapan bahwa cerpen Godi Suwarna tergolong surealis atau absurd.”[2]

Minggu, 15 Januari 2017

Novel-novel Klasik Terjemahan

Fiksi kini bisa dinikmati oleh semua pembaca dari beragam negara. Bagi saya yang tak hanya menggemari novel-novel Indonesia, terjerumus juga ke dalam novel-novel terjemahan berlabel classical fiction.

Di salah satu bazar toko buku, saya memilih tiga novel klasik terjemahan; Anna Karenina, Scarlet Letter, dan Black Beauty. Yang kebetulan harganya hanya sekitar 14K - 20K saja. Seorang teman dari Sastra Inggris beberapa kali mengeluhkan kemampuan bahasa menerjemahkan fiksi Bagi saya yang awam dengan Bahasa Inggris tidak terlalu memermasalahkannya. Dan terbukti dalam waktu tiga hari, saya sudah menyelesaikan tiga novel tersebut dengan eskapisme sendiri.

Kebetulan dua diantaranya, Anna Kareninna dan Scarlet Letter, memiliki tendensi yang sama mengenai sudut pandang moralitas di masa itu (sekitar abad tujuh belas dan delapan belas). Novel Anna Karenina tidak bisa saya paksa mampu memberikan sudut pandang lebih luas karena novel tersebut lebih dikatakan tulis-ulang ketimbang saduran (novel aslinya sekitar 1500 halaman).

Begitupun dengan Scarlet Letter, kendati demikian novel yang satu ini menurut saya memberikan gambaran mengenai romantisisme yang sering dibahas oleh teman-teman saya di Sastra Inggris. Romantisisme, menurut mereka, adalah kembali ke alam. Dan terbukti benar ketika saya berada di halaman pertemuan antara Hester dan Arthur di hutan jauh dari kota. Mereka yang terkungkung dengan peradaban dan moralitas (kota) mampu melepaskan itu semua ketika di hutan.

Hester melepaskan segala beban dan rahasianya di hutan tersebut, dengan simbol melepaskan letter A yang selama tujuh tahun tersemat di dadanya, melemparkannya ke air. Dan Arthur bisa berkata dengan jujur mengenai dirinya yang selama ini tak mampu dia katakan ketika di kota, mengingat dirinya adalah seorang pendeta.

Fiksi-fiksi semacam itu bisa kita lihat dalam Sastra Indonesia, seperti karya-karya Aan Mansyur, yang saya ingat cerpen berjudul Di Tempatmu Berbaring Sekarang. Kita akan menemukan tempat-tempat melepaskan nilai-nilai (modernitas) yang membelenggu manusia, entah itu hutan, hati, ataupun pikiran.

Pada akhirnya, saya hanya mampu mengatakan bahwa apapun buruknya terjemahan yang terjadi dalam fiksi, kita tidak bisa menolak bahwa ujungnya, kemampuan nalar kita yang digunakan untuk memahami maksud teks tersebut bicara. Jadi, harusnya kita tidak sampai menyalahkan teks terjemahan jika kata-kata tersebut sulit kita pahami atau dianggap ngawur.

Rabu, 28 Desember 2016

(Puisi) Mbeling: Pengakuan dan Eskapismenya

Kelahiran Puisi Mbeling

Puisi mbeling merupakan bentuk puisi yang tidak mengikuti kaidah estetika puisi pada umumnya; mengutamakan unsur kelakar; pengarang memanfaatkan semua unsur puisi berupa bunyi, rima, irama, pilihan kata dan tipografi untuk mencapai efek kelakar tanpa ada maksud lain yang disembunyikan (tersirat), menyampaikan kritik sosial terutama terhadap sistem perekonomian dan pemerintahan, serta menyampaikan ejekan atau bersifat satir kepada para penyair yang bersikap sungguh-sungguh terhadap puisi. Dalam hal ini, Taufik Ismail menyebut puisi mbeling dengan puisi yang mengkritik puisi[1]Puisi mbeling masih memperlihatkan kesamaan makna dengan puisi-puisi pada umumnya, sehingga akan sulit membedakannya dengan puisi-puisi lainnya. Tetapi jika melihat puisi mbeling secara langsung akan menimbulkan persepsi baru terhadap hakikat puisi pada umumnya yang sifatnya ‘serius’. Penggunaan kata serta bahasa cendrung spontan dan apa adanya.

Puisi mbeling lahir pada sekitar tahun 70-an, dipelopori oleh Remy Sylado, Jeihan, dan kemudian muncul Yudistira yang ikut meramaikan ‘demam’ puisi mbeling. Puisi mbeling yang berarti nakal berciri khas humor, keluguan, kritik, serta unik dari segi bahasanya. Majalah Aktuil pertama kali mewadahi karya-karya dari penulis-penulis baru yang memulai kreativitas melalui sastra berupa puisi tersebut.  Oleh karena itu,  remaja yang menjadi konsumen majalah remaja di masa itu, dengan mudah menyambut hangat kehadirannya. Rubriknya memiliki nama yang sama yakni “Puisi Mbeling”. Meskipun terjadi perubahan nama berulang kali, seperti menjadi Puisi Lugu, Puisi Awam, serta Puisi Underground, namun nama Puisi Mbeling-lah yang populer di kalangan masyarakat. Selain Majalah Aktuil, majalah-majalah lain ikut meramaikan dan mewadahi kreativitas penulis muda, seperti Majalah Top, dengan tajuk Puisi Lugu, ketika sang penggagasnya, Remy Sylado pindah ke majalah ini, yang mengawali penyebaran ‘virus’ puisi mbeling di berbagai media massa. Untuk menyebut beberapa di antaranya; Majalah Stop, Astaga, Sonata, Yunior serta beberapa majalah remaja lainnya dan juga muncul berbagai rubrik serupa puisi mbeling di berbagai surat kabar mingguan yang terbit di berbagai daerah. Berikut adalah salah satu puisi yang diterbitkan dalam Majalah Aktuil pada tahun 1970-an oleh Remy Sylado.

Kesetiakawanan Asia-Afrika
Mei Hwa perawan 16 tahun
Farouk perjaka 16 tahun
Mei Hwa masuk kamar jam 24.00
Farouk masuk kamar jam 24.00
Mei Hwa buka blouse
Farouk buka hemd
Mei Hwa buka rok
Farouk buka celana
Mei Hwa buka BH
Farouk buka singlet
Mei Hwa telanjang bulat
Farouk telanjang bulat
Mei Hwa pakai daster
Farouk pakai kamerjas
Mei Hwa naik ranjang
Farouk naik ranjang
Lantas mereka tidurlah
Mei Hwa di Taipeh
Farouk di Kairo

Dengan kemunculan puisi mbeling, minat remaja akan penulisan puisi menggelora dengan banyaknya puisi-puisi yang datang ke redaksi majalah, dengan demikian antusiasme penulis muda akan sastra khususnya puisi, memiliki wadahnya tersendiri. Dapat dilihat karakter puisi mbeling terdapat ciri khas humor dan terkesan santai dari puisi-puisi pada umumnya. Ending dari puisi mbeling terdapat makna yang memiliki karakter jenaka dan kadang berakhir dengan senyum atau bahkan tawa dan tentu saja memiliki makna yang serius yang dikemas berbeda. Maka dengan hadirnya puisi mbeling ini, kesan bahwa puisi merupakan sastra yang serius dengan bahasa baku perlahan memudar.

Sabtu, 17 September 2016

Kopi, Siaran Langsung, Dan Kebungkaman Dalam Budaya Populer*

Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia tidak akan asing dengan istilah “Kopi Sianida”. Kasus yang belakang menjadi perhatian publik bukan soal jenis menu baru racikan barista, tetapi masalah kasus kematian seorang perempuan bernama Wayan Mirna yang menyeret sahabatnya, Jessica Kumala Wongso sebagai tersangka utama yang dituduh meracuni korban dengan memasukan racun sianida ke dalam kopi di sebuah café di Jakarta.

Tulisan ini tidak akan membahas permasalahan hukum mengenai kasus tersebut. Hal yang menarik untuk dilihat adalah bagaimana kasus ini menjadi sebuah tontonan populer yang menjadi konsumsi masyarakat dalam beragam media. Kasus ini bahkan ditayangkan prime time secara live di beberapa stasiun swasta Indonesia dari awal hingga selesai persidangan. Tidaklah beralasan stasiun-stasiun televisi akan menayangkannya karena animo masyarakat terhadap kasus ini sama besarnya.


Kita diingatkan kembali pada acara-acara live berdurasi panjang tayangan pernikahan dan kelahiran selebritis beberapa tahun silam. Kini, kasus persidangan seseorang yang bukan selebritis malah ikut diikuti masyarakat, hingga penonton seolah menyaksikan acara sinetron. Terlebih, kasus tersebut menyangkut budaya populer kekinian: trend coffee shop. Dalam layar kaca, dapat kita lihat bagaimana kamera menyorot dua sisi sekaligus; keterangan saksi dan wajah ekslusif terdakwa. Media televisi menjadi bergairah kembali untuk disaksikan, setelah sebelumnya masyarakat jenuh dengan tayangan-tayangannya dan beralih ke media sosial internet.

Alih-alih menjadi penonton cerdas yang mendapat pengetahuan mengenai hukum dan persidangan, tontonan semacam ini nyatanya tidak jauh beda dengan acara-acara serial televisi lain yang menyorot kehidupan selebriti, sinetron, ataupun acara bincang artis. Satu-persatu tokoh yang muncul dan angkat bicara dipersidangan di-googling dan dibicarakan, tak jauh beda dengan acara infotainment yang sering dijadikan tontonan eskapis yang menghibur.


Seorang pemikir Prancis, Pierre Macherey, melihat bagaimana kebungkaman dibalik budaya populer. Meskipun anggota Komunis Prancis sekaligus murid Althusser itu melihat dari sudut pandang karya sastra. Tetapi cara kerja sebuah media populer membungkam wacana sebagai pengalih-perhatian, menarik untuk mengkaji tren populer ini. Cara kerja ini pula yang hampir sama dengan yang pernah ditulis oleh Ariel Heryanto dalam bukunya, Identitas dan Kenikmatan. Bagi Macherey, yang terpenting dari sebuah teks adalah apa yang disembunyikannya. Maka semakin banyak teks itu diolah, maka semakin besar yang dibungkamnya. Ada sebuah proyek ideologis yang dibuat untuk mengalihkan, membungkam, atau menunda wacana besar dan penting untuk dibongkar dan diketahui. Baik disengaja ataupun tidak, konsumen tersebut kemudian secara tak sadar melupakan dan teralihkan pada wacana yang lebih massal dibicarakan.

Di era tahun 90-an, penonton berita televisi nasional dicekoki tayangan mengenai pemimpin bangsa sedang menanam padi, membangun jembatan, atau berita mengenai kelaparan Ethiopia yang membuat penontonnya simpati dan miris. Berita-berita semacam itu yang menjadi pengalih-perhatian konsumen televisi. Seolah-olah mereka tengah menonton tayangan berbobot yang menunjukkan kemajuan bangsa dan mensyukuri kehidupan orde itu. Mereka seakan dibawa lupa, bahwa pada saat itu, bangsapun tengah diancam krisis pangan dan kemiskinan. Meskipun tak ada yang bisa menyalahkan peran media sebagai wadah aspirasi dan hiburan, tetapi penontonpun harus lebih jeli, cerdas, dan sensitif terhadap tayangan populer. Dibalik popularitas yang dibuat massal dan hiperbola, takkan ada yang tahu wacana yang dibungkamnya.



***



* Versi PDF dapat diunggah di sini

Rabu, 15 Juni 2016

Reuni antara Kapitalis dan Komunis dalam Novel Dunia Sophie Karya Jostein Gaardner

Tulisan ini merupakan kajian yang berusaha menunjukkan eksistensi kelas-kelas yang berada di fiksi Dunia Sophie (Bahasa Indonesia) karya Jostein Gaardner. Meskipun tidak secara keseluruhan, tulisan singkat non-ilmiah ini hanya menggambarkan bagaimana eksistensi kelas borjuis, proletar, hingga pertemuan tersebut berubah menjadi pertemuan komunis dan kapitalis hanya melalui kisah singkat pertemuan antara Ebenezeer Scrooge dan Gadis Korek Api.

Pertemuan Dua Tokoh Fiktif Legendaris

Narasi antar teks yang berbeda mampu dihubungkan dalam sebuah peristiwa. Bagi Iser (1978) pertemuan antar teks tersebut saling memengaruhi antara teks dan pembacanya. Jostein Gaardner mempertemukan banyak narasi cerita ke dalam novel filsafatnya berjudul Dunia Sophie (1991). Meskipun kebanyakan mengisahkan peranan para filosof sebagai gagasan utama Alberto Knox untuk memberikan kuliah filsafat kepada Sophie Amundsen. Dunia Sophie merupakan cerita dalam cerita yang dibangun oleh Gaardner yang mengisahkan Albert Knag yang menulis novel filsafat untuk anaknya Helda Knag. Novel itu kemudian, di dalamnya, mengisahkan Sophie Amundsen –yang seusia dengan Helda, bertemu dengan Alberto Knox yang memberikan kuliah filsafat. Di dalam kuliahnya tersebut, Alberto menjelaskan filsafat kepada Sophie, di luar itu Albert Knag memberikan gagasan filsafat lain melalui kisah Sophie sendiri.

Pertemuan antara kisah-kisah berbeda tersebut dikemas ke dalam satu fragmen guna memberikan contoh sederhana namun bermakna bagi pembacanya. Kebanyakan kisah yang diambil lebih kepada kisah nyata mengenai perjalanan seorang filsuf memikirkan gagasan yang digelutinya, seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Hegel, dan beberapa filsuf kenamaaan lainnya yang dibahas tiap babnya. Beberapa tokoh fiksi dunia diselipkan sebagai pembawa pesan inti cerita, misalkan Noah atau Nabi Nuh yang membawakan gambar binatang-binatang yang diselamatkannya dalam bahtera buatannya. Atau Si Kerudung Merah yang mengganggu Alberto dan Sophie saat belajar, beberapa tokoh fiksi tersebut memang diwujudkan dalam teks dan memiliki tendensi tersendiri.

Salah satu kisah menarik terdapat dalam bab mengenai Marx, Gardner melalui Albert mempertemukan dua cerita dunia; A Christmas Carrol oleh Charles Dickens dan A Little Matchgirl oleh Hans Christian Andersen sebagai contoh antara kaum borjuis yang diwakili oleh Scrooge dan kaum proletar oleh Gadis Korek Api. Diceritakan bahwa Sophie bertemu dengan Ebenezeer Scrooge di hutan dalam perjalannya menuju gubuk Sang Mayor. Scrooge tengah sibuk dengan kalkulasi perusahaannya dan sangat tidak berkenan untuk diganggu, bagi Scrooge keuntungan dan kekayaannya merupakan kesuksesan utama yang tidak bisa disia-siakan. Maka Sophie tidak memiliki kepentingan dengannya meneruskan perjalanannya, tidak berapa lama dia kemudian bertemu dengan Gadis Korek Api yang digambarkan miskin dan menjual koreknya seharga 1 crown. Merasa ironis dengan keadaan Gadis Korek Api tersebut, Sophie kemudian menuntun gadis itu menuju Scrooge. Dan sesuai dugaan, Scrooge menolak untuk menolong gadis miskin tersebut dan menyuruhnya pergi.

Ketika Gadis Korek Api tersebut mengancam Scrooge untuk menyalakan korek apinya dan membakar hutan, Scrooge berteriak Tuhan menolongku! Jago merah itu telah berkokok! Kemudian si Gadis Korek Api tersenyum lucu dan berkata dengan tidak terduga Anda tidak tahu aku seorang komunis, bukan? Dialog pendek tersebut sejenak menghentak pembaca, bahwa pertemuan dua tokoh fiksi dunia dalam sebuah novel filsafat mengenai gagasan Marx tentang materialisme menjadi contoh menarik bahwa setelah lebih dari satu abad lamanya kaum proletar membalaskan dendamnya pada kaum borjuis hanya dengan sebatang korek api. Meskipun hanya beberapa halaman mengenai peristiwa itu dan hanya beberapa kalimat dialog mengenai hal tersebut, Gaardner menunjukkan reuni apik antara kapitalis dan komunis.

Sebenarnya pertemuan dua teks tersebut memiliki tujuan untuk menjelaskan secara kontras beda antara kaum borjuis dan kamu proletar, ataupun kapitalis dan komunis. Akan tetapi letak dikotomi yang ingin dibangun penulisanya dirasa sedikit tidak mengena saat pertemuan dua tokoh dunia, Scrooge dan Gadis Korek Api tersebut memiliki kesamaan satu dengan yang lainnya. Pertama, kedua tokoh tersebut adalah sama-sama seorang pedagang. Bedanya adalah deskripsi yang dibangun oleh penulis bahwa Scrooge adalah pedagang kaya sementara Gadis Korek Api merupakan pedagang miskin. Mereka dibedakan dengan tanda-tanda sepintas, yakni meja yang dimiliki oleh Scrooge, dan korek api yang dijual oleh gadis miskin yang digambarkan berpakaian compang-camping dan terlihat pucat. Pembaca digiring dengan tanda miskin dan kaya hanya berdasar pada deskripsi singkat, sementara melupakan bahwa keduanya adalah benar pemilik modal. Identifikasi yang dibangun oleh pengarang atau narator utama mengenai setting cerita pertemuan tokoh di hutan merepresentasikan nominal materi yang dimiliki keduanya, meskipun keduanya sama-sama berprofesi sebagai seorang pedagang, dengan tegas narator membedakan kedua tokoh tersebut dengan identifikasi kaya dan miskin. Kedua, dari deskripsi di atas narator kemudian memberikan golongan di antara keduanya, yakni kapitalis dan komunis, yang kemudian menjadi ilustrasi pembentukan ideologi masing-masing.

Pedagang Kaya Sombong dan Pedagang Miskin Lugu

Borjuis dan Proletar

Kendatipun kedua tokoh fiksi yang bertemu dalam sebuah bab Dunia Sophie mereka menjadi merepresentasikan dua golongan berbeda berdasarkan gambaran yang ditulis oleh Gaardner melalui Albert Knag selaku autor ke dua. Identifikasi atas borjuis dimiliki oleh Scrooge melalui deskripsi singkat kurang lebih lima paragraf, meskipun demikian, pembaca telah mengetahui background cerita melalui novela A Chrismas Carrol; Ebenezeer Scrooge seorang pengusaha kikir yang didatangi tiga roh partnernya yang menunjukan masa lampau, masa saat ini, dan masa depan Scrooge. Dari tiga pengalaman tersebut, Scrooge kemudian menyadari dirinya selama ini telah menjadi seorang yang tamak dan tidak memiliki jiwa sosial terhadap sesamanya. Setelah itu Scrooge berubah menjadi seorang pengusaha yang baik hati.