Kamis, 16 Maret 2017

“Menolak Tradisi, Bertolak dari Tradisi”: Latar Belakang Kehidupan Godi Suwarna dan Karya-karyanya

Sastrawan asal Tasikmalaya, Jawa Barat, Godi Suwarna, merupakan salah satu sastrawan produktif yang banyak melahirkan karya sastra, diantaranya sajak, cerpen, novel, serta naskah drama. Aktif dan produktif semenjak gemar membaca Majalah Mangle serta karya- karya sastra Danarto, Ramadan KH, juga tembang-tembang Sunda Cianjuran dan kawih-kawih Mang Koko di radio. Meskipun karya-karyanya berbahasa Sunda, cerita yang disampaikan merupakan variasi atas apa yang terjadi dalam kehidupan sosial politik Indonesia, seperti dalam novel Sandekala dan Deng yang menceritakan tentang semerawutnya Bangsa Indonesia akibat korupsi yang merajalela dan pengaruhnya terhadap rakyat jelata. Tulisan ini akan memaparkan biografi Godi Suwarna, latar belakang kehidupan, karya-karya sastra yang dibacanya dan pengaruh terhadap karya-karya yang dilahirkannya.

Godi Suwarna, seorang penyair, cerpenis, novelis, dan dramawan Sunda ini dilahirkan di Tasikmalaya pada 23 Mei 1956. Lulusan Bahasa Indonesia IKIP Bandung ini juga berprofesi sebagai guru dan redaktur di Sipatahunan. Mulai mengarang puisi dan prosa dalam bahasa Sunda sejak tahun 1976 saat masih duduk sebagai mahasiswa IKIP. Pernah ikut bermain, menyutradarai, dan menulis lakon, antara lain dalam Burung-burung Hitam, Orang-orang Kelam, Gaok-Gaok Geblek dan Gor-Gar. Selain mengarang, juga suka bermain drama sejak kecil. Saat kuliah, mendirikan Teater IKIP Bandung dan ikut bermain di Studiklub Teater Bandung. Penulis cerita pendek dalam Bahasa Sunda ini sempat mengikuti Utan Kayu International Literary Biennale dan International Poetry Festival Indonesia 2006. Dia telah menghasilkan sedikitnya lima kumpulan puisi, yaitu Jagat Alit (1978), Surat-surat Kaliwat (1984), Blues Kere Lauk (1994), Sajak Dongeng Si Ujang (1996), dan Jiwalupat. Dua kumpulan cerpen, Murang Maring (1982) dan Serat Sarwasastra. Dua novel, Sandekala (2007) dan Déng (2009). Juga satu naskah drama, Durmayudha, yang ditulisnya saat masih di IKIP Bandung.

Dibesarkan di lingkungan yang sangat kental dengan kesenian Sunda. Ayahnya piawai memainkan alat musik kecapi, dan ibunya mahir menembangkan tembang cianjuran. Sejak kecil selalu dibacakan cerita-cerita dari majalah Manglé, gemar membaca, dan mengikuti kelompok sandiwara Kampung Kondang yang diselenggarakan setiap hari Sabtu malam di kampungnya. Keakrabannya dengan dunia kesenian, dan ditemukannya Godi oleh Wawan A. Husein sebagai pemandu bakat saat di IKIP Bandung, barulah ia mengenal dunianya yang sebenarnya.

Kreativitasnya dalam mengolah kata dan berkesenian membuatnya mendapat banyak penghargaan. Penghargaan-penghargaan yang diperoleh Godi diantaranya: Sutradara Terbaik PORSENI tingkat Jawa Barat (1980), dan tingkat Nasional (1981), Tengul karya Arifin C. Noor; Hadiah Sastra Rancagé untuk Kumpulan Puisi Blues Kere Lauk (1993); Hadiah Sastra Rancagé untuk cerpen Serat Sarwasastra (1996); Hadiah Sastra Paguyuban Pasundan untuk Novel Sandékala (1998); Hadiah Sastra Oeton Moechtar untuk Novel Déng (2000). Godi Suwarna mencintai tembang-tembang Sunda Cianjuran, kecintaannya terhadap tembang melankolis ini memengaruhi sajak-sajaknya. Sajak Alit (1979) banyak terpengaruh oleh tembang-tembang Sunda yang didengarnya semenjak kanak-kanak.


JAGAT ALIT
Hareupeun kelir : kalangkang-kalangkang wayang
Kalangkang usik-usikan, kalangkang di obah-obah
Ieu rendeuk reujeung igel, ieu tincak reujeung ketak
Pulang-anting, pulang anting lebah dunya hideung bodas
Dongeng naon anu rék midang? dalang kawasa!
Aya raga nu tumamprak sanggeus campala noroktok
Sabot nungguan balebat, duh peuting ngajak ngalinjing
Renghap ranjug, renghap ranjug saméméh ajal ngolébat

Puisi Jagat Alit merupakan kisah masa mudanya yang penuh dengan lika-liku kehidupan, tentang kegelisahannya akan konsep kematian[1]. Awal kegemarannya menulis puisi adalah ketika Godi bisa mengutarakan perasaannya lewat kata-kata puitis, yang baginya lebih nyaman menggunakan kosakata Bahasa Sunda karena memiliki banyak variasi kata untuk menggambarkan makna. Setelah itu, Godi gemar menulis cerpen dan novel.


diunduh dari https://contohpantunpuisicerpen.blogspot.co.id

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ahid Hidayat yang berjudul Enam Cerpen Karya Godi Suwarna: Dongeng Metaforis dan Maknanya, motif yang membangun keenam cerpen Godi memiliki tema yang beragam, namun menyoroti satu persoalan, yakni kondisi manusia. Pada dua cerpen ditemukan motif yang umum terdapat dalam karya-karya absurd, yakni motif perasaan terasing dan motif rutinitas. Artinya, memang benar bahwa ada cerpen Godi Suwarna yang bersifat absurd, namun tidak semua cerpennya bisa disebut absurd. Cerpen Godi Suwarna menunjukkan adanya hubungan yang beragam dengan konteks jaman. Telaah yang dilakukan juga menunjukkan banyaknya penggunaan metafora. Karena itu, cerpen-cerpen Godi Suwarna dapat dianggap sebagai dongeng-dongeng metaforis. Peristiwa-peristiwa yang dipandang ajaib, tidak masuk akal, atau menyimpang dari realitas fiktif, secara metaforis mempunyai makna yang bersifat tersirat dan berhubungan dengan konteks jaman. Inilah yang melahirkan anggapan bahwa cerpen Godi Suwarna tergolong surealis atau absurd.”[2]


Pengaruh kesusastraan yang dibaca oleh Godi Suwarna memberikan banyak dampak terhadap karya-karyanya, Danarto, Ramadan KH, juga Popo Iskandar, yang membuat karya-karya Godi tersebut menjadi surealis absurd. Lain lagi dengan Sajak Dongeng Si Ujang (1998), Kumpulan SDSU ini pertama kali terbit pada tahun 1996 dalam edisi bahasa aslinya, bahasa Sunda. Kemudian diterjemahkan oleh Iip D. Yahya ke dalam bahasa Indonesia, dan Atep Kurnia sebagai editor. Diterbitkan pada Mei 2011 oleh Rumah Baca Buku Sunda, Bandung. Antologi ini terdiri dari 29 sajak. Setiap sajak menceritakan satu peristiwa yang satu sama lain saling berkaitan.


Kumpulan SDSU ini memiliki keistimewaan dan keunikan tersendiri. Dalam antologi ini terdapat bentuk, gaya, dan bahasa ucap yang khas. Godi menggunakan sudut pandang Si Ujang sehingga yang digunakan adalah bahasa kanak-kanak. Penggunaan sudut pandang tokoh Si Ujang bukan berarti tidak ada tokoh lain dalam kumpulan puisi ini. Terdapat tokoh-tokoh lainnya yang merupakan satuan keluarga yang terdiri dari Papap (ayah), Mamah (ibu), Aa (kakak laki-laki), Teteh (kakak perempuan), dan Ujang (anak terkecil), juga tokoh Aki (kakek), Enin (nenek), dan Bibi (pembantu) yang berperan sebagai tokoh bawahan. Keberadaan tokoh-tokoh tersebut yang berperan sesuai karakternya masing-masing, serta sajak yang bertaut satu sama lain menjadikan kumpulan ini seperti sebuah cerita atau kumpulan fragmen.

Selain penokohan juga dapat ditarik tema sentral yaitu berbicara mengenai kondisi sebuah keluarga yang dihadapkan pada berbagai fenomena sosial, dan setiap tokohnya memiliki masalah sendiri. Misalnya, sajak 1-9 merupakan sajak yang berbicara mengenai dunia Si Ujang dan berbagai persoalannya. Sajak 10-12 berbicara mengenai peristiwa yang terjadi antaranggota keluarga, misalnya dalam sajak 10 tentang Teteh dan Aa. Sajak 13-15 berbicara tentang Si Aa. Sajak 20-21 tentang Si Mamah. Sajak 22-26 tentang Si Papap. Dan sajak 27-29 berbicara tentang semuanya yang kemudian pada akhir sajak terjadi semacam ‘rekonsiliasi’ antarseluruh anggota keluarga.

Penerjemahan Sajak Dongeng Si Ujang dari bahasa Sunda ke dalam bahasa Indonesa disambut dengan baik oleh para kritikus, penyair, juga masyarakat. Upaya penerjemahan ini merupakan upaya memperkenalkan puisi Sunda kontemporer kepada masyarakat yang lebih luas. Khususnya publik di Indonesia agar dapat pula menikmati memahami, memperhatikan geliat perkembangan yang terjadi di sastra daerah, terutama sastra Sunda. Dengan kata lain, disamping memperluas jangkauan apresiasi karya sastra Sunda, bisa jadi pula penerjemakan karya Godi ini menjadi wahana perbandingan dengan karya-karya sejenis dari sastra daerah lainnya, semisal sastra Jawa, Minang, Batak, dan lain-lain. Bahkan sastra Indonesia dan dunia (Ibid, 2011: vii).

Namun, perihal penerjemahan memang tidak pernah luput dari kesalahan penerjemahan. Penerjemahan Sajak Dongeng Si Ujang ini menjadi polemik yang diangkat di media HU Pikiran Rakyat. Soni Farid Maulana dalam esainya Menyoal Terjemahan Puisi Godi tanggal 29 Mei 2011[3], memandang secara positif upaya penerjemahan Puisi Sunda ke dalam Bahasa Indonesia. Namun, menurutnya banyak sekali kejanggalan dalam upaya penerjemahan ini. Kejanggalan itu antara lain tidak hanya terdapat pada diksi yang hilang dalam penerjemahaannya, tetapi juga pada logika kalimat dan logika terjemahan itu sendiri.

Misalnya, Sajak Dongeng Si Ujang (halaman 2, larik ke 3-4) yang teksnya berbunyi demikian pisan. Gajahna ngajakan ameng ka Ombak nu/ nuju nangis da disantokan wai ku lauk laut// Menjadi baik sekali. Gajahnya ngajak ombak yang/ sedang nangis sebab terus dipatuki ikan//. Bila dengan cermat kita baca teks tersebut, kejanggalan pertama akan terlihat pada hilangnya diksi ameng di dalam teks terjemahan. Dengan hilangnya diksi ameng dalam upaya terjemahan, teks puisi tersebut menjadi tidak jelas adanya. Padahal diksi ameng merupakan kata kunci, bagi hidup-nya teks puisi tersebut. Selain itu diksi laut yang ditaruh di depan diksi ikan pun hilang pula entah ke mana. Padahal diksi ikan laut dipilih oleh si penyair dalam puisinya itu, mempunyai benang merah dan wilayah pemaknaan yang sangat penting dengan larik-larik puisi selanjutnya. 

Kesalahan terjemahan lainnya terdapat pada Sajak Si Ujang Oge halaman 6 larik ke 9-11 gulung. Nini Imi sok mulungan botol didinya/ sakitu laleurna mani harejo jabi mani arageung sami-/sami Tentara....// teks puisi tersebut yang mengandung idiom, bahasan, bahasa figu-ratif, diterjemahkan jadi gunung. Nini Imi suka memulung botol di situ,/ Meskipun lalatnya hijau-hijau dan besar-besar. Sama-sama Tentara...//

Terjemahan di atas jelas salah adanya. Di dalam teks aslinya, tak ada tanda baca titik (.) antara diksi arageung dengan sami-sami Tentara. Seandainya teks puisi dalam ba-hasa Sunda tersebut harus diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia semestinya berbunyi gunung, Nini Imi suka memulung botol di situ, walau lalatnya hijau-hijau dan besa-besar seperti Tentara. Jadi kata sami-sami dalam teks puisi tersebut tidak bisa diterjemahkan jadi sama-sama, sebab logika kalimatnya tidak mengarahkan kita pada makna pembacaan yang bermakna sama-sama. Juga beberapa contoh penerjemahan salah lainnya.

Menurut Soni, dari beberapa contoh penerjemahan yang salah dan fatal, ia meminta, memberi masukan, agar buku SDSU ditarik dari peredaran kemudian direvisi terjemahannya. Ia juga menuduh Iip D. Yahya sebagai penerjemah, hanya menerjemahkan kata per kata. Serta Atep Kurnia sebagai editor, kurang teliti dan cermat dalam penyelarasan bahasa. Tulisan Soni Farid Maulana ini ditanggapi oleh Hasta Indriyana dan B.F. Syarifudin sekaligus pada 12 Juni 2011[4]. Hasta Indriyana, dalam tulisannya Sandungan Penerjemahan Sastra, lebih kepada menengahi perdebatan yang mungkin tidak hanya muncul di media HU Pikiran Rakyat, tapi juga di media jejaring sosial. Menurutnya, niat Soni menulis adalah memberikan masukan, kedetailan “membaca dalam” yang dilakukannya berupa catatan-catatan. Ia juga memberi masukan agar proses penerjemahan karya sastra, akan lebih baik jika dilakukan bersama sastrawannya (jikalau masih hidup dan memungkinkan), lebih baik lagi apabila meminta bantuan para ahli atau korektor sebelum hasil terjemahan final dan disebarluaskan. Sedangkan B.F. Syarifudin, dalam tulisannya Menyoal Terjemahan Puisi Godi[5], menilai bahwa Iip mencoba mempertahankan sudut pandang kanak-kanak. Tidak ada sama sekali untuk mencoba keluar dari bentuk, kalimat-kalimat yang ada dalam bahasa sumber, tidak dirombak menjadi bahasa yang “berbunga-bunga” dan baku. Misalnya, kata “bobo” tidak diterjemahkan menjadi “tidur” melainkan tetap menggunakan kata “bobo”. Hal tersebut menunjukan bahwa Iip tetap konsisten pada penerjemahan bentuk.

Selanjutnya, ketiga tulisan mengenai penerjemahan puisi Godi tersebut ditanggapi pula oleh Dhipa Galuh Purba pada 26 Juni 2011[6]. Dhipa, dalam tulisannya “Sajak Bersorak, Sajak Terisak”, berpendapat bahwa agaknya tidaklah benar jika Iip menerjemahkan SDSU seperti mesin pencari Google. Tentunya penerjemah memiliki pandangan dan pertimbangan tersendiri terkait penerjemahan tersebut. Juga, bahwa penerjemah SDSU sudah memenuhi syarat untuk melakukan penerjemahan karya sastra, jika merujuk pada buku The Theory and Practice of Translation karya Eugene A. Nida dan Charles R.

Upaya penerjemahan antologi puisi ini cukup baik. Namun, ketika membaca lagi terjemahannya lalu dibandingkan dengan bahasa aslinya, merasakan beberapa keganjilan. Tidak hanya karena ada diksi yang hilang, kalimat yang hilang, tapi juga perbedaan penggunaan tanda baca titik dan koma. Perbedaan penggunaan tanda baca tersebut, mempengaruhi pembacaan saya serta rasa. Memang benar, “Puisi Sunda kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, seperti ayam yang sudah dicabut bulunya [telanjang],” begitu pernyataan Godi Suwarna dalam salah satu diskusi buku antologi puisinya Sajak Dongeng Si Ujang yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Iip D. Yahya.
Sebagai upaya pelestarian Bahasa Sunda, Godi Suwarna juga menggunakan bahasa tersebut di karya-karya novelnya. Kedua novelnya Sandékala (2007) dan Déng (2009) yang mendapatkan penghargaan menjadi penyemangatnya untuk terus berkarya.

Déng mengisahkan keluarga yang terdiri atas Uyut, Ema, dan dua anak Ema, yaitu Asep dan Ujang. Di kampung tempat tinggalnya, mereka adalah salah satu dari sekian banyak keluarga yang menjadi korban kekejaman penguasa. Kakek Ujang yang terlibat dalam kegiatan PKI di jaman Orde Lama, hilang tak tentu rimbanya di alas pembuangan. Sedangkan ayah Ujang, suami Ema, meninggal akibat jatuh dari pohon kelapa. Belakangan diketahui, bahwa ayah Ujang sebetulnya menjadi korban pemukulan oleh aparat desa. Semasa hidupnya, ayah Ujang gigih memperjuangkan hak ganti rugi tanahnya yang terkena projek bendungan, yang memang proses pelaksanaannya sarat manipulasi dan pemaksaan. Begitu pula dengan Asep, kakak Ujang yang berstatus mahasiswa seni rupa di salah satu perguruan tinggi di Bandung. Dalam suasana merdeka di era reformasi, ia justru bernasib tragis. Akibat dari tindakannya melanjutkan perjuangan sang ayah, ia pun tewas dalam sebuah demonstrasi yang berakhir rusuh.

Selain mengangkat isu sosial, dalam novel Déng, Godi juga berusaha menyingkap tabir yang menyelubungi lika-liku dan ketimpangan naluri seksual manusia. Setidaknya empat tokoh novel Déng menggambarkan kecenderungan tersebut. Tokoh Pa Yuda misalnya. Ia tidak semata berperan sebagai komprador penguasa. Dalam waktu yang sama ia juga tampil sebagai si Tumang yang punya kuasa memuaskan birahinya dengan wanita-wanita desa. Hal ini sangat mirip dengan budaya nyanggrah yang biasa dilakukan ménak jaman kolonial. Sedangkan Ema, seorang istri juga ibu satu anak, ternyata tidak kuasa menolak tangan kekuasaan yang menodai dirinya. Hingga akhirnya lahir Ujang si anak sundal, yang perkembangan mentalnya terganggu akibat perlakuan kasar suami Ema. Selanjutnya, masa puber Ujang pun ditandai oleh gejala kelainan seksual. Di tengah keluarga Ujang, hadir pula tokoh Ratih; seorang biduan dangdut yang dicampakkan oleh supir backhoe yang membuntinginya, hingga Ratih pun mengalami sakit ingatan.

Pada sisi penyingkapan tabir seksual, Déng amat dekat dengan novel Sunda Asmaramurka karya Ahmad Bakri. Pengarang yang juga berasal dari Ciamis ini begitu fasih menelusuri kerumitan hasrat cinta dan naluri seksual manusia di tengah kentalnya dogma kehalusan budi jiwa urang Sunda. Namun, jika dibandingkan lebih jauh lagi, sebetulnya Déng lebih menyerupai Saman-nya Ayu Utami. Karena selain bertendensi perlawanan terhadap budaya tabu, keduanya juga sama-sama menawarkan pembangkangan terhadap penguasa. Namun yang jelas, Déng merupakan sebuah pembaharuan dalam ranah sastra Sunda. Déng juga hadir sebagai empati terhadap nasib rakyat kecil yang teraniaya.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Deri Hudaya yang berjudul Kajian Psikologi Humanistik Kana Novel Deng Karya Godi Suwarna Pikeun Bahan Pangajaran Apresiasi Sastra Di SMA, varasi alur cerita rakyat sasakala Gunung Tangkuban Parahu menjadi bagian cerita yang diangkat oleh Godi. Latar tempat meliputi latar nyata, latar imajinatif, dan gabungan dari kedua latar tersebut. Latar waktu meliputi awal masa reformasi. Latar sosial melibatkan masarakat kelas menengah ke bawah dan petinggi daerah. Ujang merupakan tokoh utama yang memiliki peranan penting dalam keseluruhan alur cerita, hidup pada awal masa Orde Reformasi, memiliki hubungan erat dengan alam, mengalami gangguan psikologis, jalan hidupnya dipengaruhi oleh mimpi-mimpi, imajinasi anak-anak, dan tokoh Sangkuriang yang diidolakannya. Berkat kekurangan dan kelebihan yang dimililikinya, serta pengaruh lingkungan pembentuk wataknya, Ujang mengaktualisasikan diri dengan cara yang berbeda dari manusia pada umumnya. Psikologi humanistik yang meliputi kebutuhan dasar manusia, yaitu kebuthan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan rasa memiliki-dimiliki atau kasih sayang, kebutuhan akan penghargaan, dan kebutuhan aktualisasi diri sebagian besar dapat terpenuhi para tokoh.”

Novel Sandékala yang kemudian dipentaskan menjadi drama dengan judul yang sama di Bandung pada tanggal 23-24 Mei 2008 bertempat di Gedung Kesenian Rumentang Siang, Jalan Baranang Siang no.1, Bandung, dan di Jakarta, 22 Juli 2008 (berbahasa Indonesia), dan 23 Juli 2008 (berbahasa Sunda) bertempat di Graha Bhakti Budaya - TIM, Jakarta. Sandékala sebenarnya sebuah cerita rakyat dari Jawa Barat tentang makhluk halus (semacam Buto Ijo, raksasa jahat dalam pewayangan Jawa). Walau belum banyak orang melihatnya, mitos ini cukup kental dipercaya masyarakat Sunda, terlebih di Situs Astana Gede atau Situs Kawali yang merupakan salah satu situs dari masa klasik di Kampung Indrayasa, Desa Kawali, Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis,Provinsi Jawa Barat. ”Sandekala” sendiri berasal dari kata ”sande” yang berarti ‘gelap’ dan ”kala”yang berarti ‘waktu’. Inti mitos dari masyarakat Pasundan tersebut adalah jangan bermain hingga waktu gelap (larut malam). Sebuah pesan yang memang berlaku pada jaman dahulu dan sangat jarang dilakoni anak muda masa kini. Saat keseringan main hingga lupa waktu, Sandekala akan memakannya atau mendapat celaka atau penyakit saat bermain di waktu itu.

diunduh dari https://dikiumbara.files.wordpress.com
Cerita bermula dari seorang Camat Kawali, Suroto, yang menyalahgunakan jabatan dengan menebang pohon di Tabet (hutan keramat). Padahal, kesakralan hutan tersebut sangat dijaga warga desa dari generasi ke generasi sejak abad ke-13. Di situ ada makam Putri Kerajaan Galuh, Dyah Pitaloka, serta makhluk halus lainnya. Tindakan tersebut diprotes Pandu, mahasiswa dari Kawali.Tak membuat jera penguasa, masyarakat merencanakan untuk demo. Namun, keburu tercium pihak aparat muspika dan mereka diamankan. Termasuk bagi Bagus Madenda,bekas wartawan yang dipecat dari pekerjaannya karena memberitakan seorang pejabat yang korupsi. Celakanya, pejabat itu adalah kenalan dari pemilik surat kabar tersebut. Seorang kuncen (juru kunci) di hutan Surawisesa lantas berbincang dengan burung Kepodang. Sosok burung tersebut diyakini masyarakat sebagai titipan Dyah Pitaloka untuk mengungkap kegelisahan Ki Kuncen tentang suasana negeri ini, termasuk orang-orang yang berada di sekitar Tabet. Makin lama, gonjang-ganjing tersebut semakin membuat resah ”penghuni” hutan keramat. Mereka lalu menampakkan diri untuk memberi ”kila-kila”, tandatanda kepada penduduk sekitar. Dari muncul makhluk siluman, berbagai macam hama,belalang, tikus,hingga menjelma menjadi seekor ular putih. Keseimbangan alam pun terancam. Banyak hasil panen yang tidak dapat dinikmati akibat serangan hama tersebut.

Buyut Pawitan, kekasih Dyah Pitaloka terdahulu, ternyata bereinkarnasi ke tubuh Bagus Madenda. Dyah pun bernostalgia dan menghibur kegundahan hatinya. Akhirnya Bagus makin terjerembab ke dalam ”pelukan” nostalgia Dyah. Bagus kian hari kian murung.Begitu pula saat diajak demo oleh Pandu, Bagus yang ternyata cucu Ki Kuncen satu-satunya justru menolak karena pasti akan ditahan penguasa. Tak putus asa, Pandu dan teman-teman kampung malah nekat berdemo. Pandu pun kian bersemangat karena ditemani kekasihnya meski ia adalah putri Camat yang akan didemonya. Untung kekasih Pandu ini mau membocorkan rapat rahasia yang dilakukan ayahnya dan muspika setempat sehingga penangkapan demonstran besar-besaran bisa dihindari. Kisah ini berujung dengan Kawali yang luluh lantak. Para demonstran pun lari ke Tabet Surawisesa. Lalu, aparat mengejar dan menghabisi seluruh demonstran. Sementara Dyah Pitaloka yang tetap bernostalgia dengan Bagus malah memperlihatkan gambaran wong samar serupa Dyah yang pergi ke tanah timur. Bagus menyaksikan Dyah bunuh diri serta upacara pengembalian abu jenazah dari tanah timur. Bagus kian terseret ke pusaran masa lalu dan kemudian menghilang.

Kisah tersebut sangat mirip bila dikaitkan dengan kerusuhan Mei 1998 di Ibu Kota. Cerita Godi Suwarna ini memang terinspirasi dari tragedi memilukan sekaligus memberi perubahan bagi demokrasi Indonesia. Meski novel tersebut ditulis dalam bahasa Sunda, isinya sangat memberi ruang universal terhadap permasalahan negeri. Tema-tema korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, persoalan lingkungan, dan kearifan pemimpin masa lalu sangat tergambar jelas dalam novel pemenang penghargaan Sastra Rancage 2007 ini. Apalagi, novel dengan pendekatan setting lokal jarang ditulis orang. Begitu pun kesesuaian tema dengan kekinian yang sangat menarik dan kontekstual.

Godi Suwarna merupakan seniman yang “menolak tradisi, bertolak dari tradisi”, kecintaannya terhadap sastra dituangkan ke dalam sastra berbahasa Sunda yang menceritakan tentang kehidupan berlatar sosial Indonesia. Tak banyak sastrawan yang keukeuh dengan konsep latar belakang bahasa ibu yang dibawanya. Godi Suwarna merupakan salah satu seniman sastrawan yang bergelut di bidang pelestarian budaya dan bahasa daerah, dan selain pengaruh kehidupan sosialnya, pengaruh karya-karya sastra yang dibacanya mampu memengaruhi karya-karya yang dilahirkannya pula.


Daftar Pustaka



Suwarna, Godi. 1984. Jagat Alit: Puisi Sunda. Bandung: Rahmat Cijulang

Suwarna, Godi.1992. Blues Kere Lauk. Bandung: Geger Sunten

Suwarna, Godi. 2007. Jiwalupat. Bandung: Geger Sunten

Suwarna, Godi. 2007. Sandékala. Bandung: Kelir
Suwarna, Godi. 2009. Déng. Bandung: Puri Pustaka
Suwarna, Godi. 2011. Sajak Dongeng Si Ujang, Antologi Puisi Godi Suwarna. Bandung: Rumah Baca Buku Sunda


[1] Maulana, Soni Farid. Minggu, 1 Juli 2007. HU Pikiran Rakyat.
[2] Tesis Ahid Hidayat, Universitas Indonesia, http://lontar.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-71428.pdf, diakses pada tanggal 28 Maret 2013
[3] Maulana, Soni Farid. 29 Mei 2011. Menyoal Terjemahan Puisi Godi. HU Pikiran Rakyat. 
[4] Indriyana, Hasta. 12 Juni 2011. Sandungan Penerjemahan Sastra. HU Pikiran Rakyat. 
[5] Syarifudin, B.F. 12 Juni 2011. Menyoal Terjemahan Puisi Godi. HU Pikiran Rakyat. 
[6] Purba, Dhipa Galuh. 26 Juni 2011. Sajak Bersorak, Sajak Terisak. HU Pikiran Rakyat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar