Minggu, 31 Januari 2016

Selfie, Media, dan Nilai Ideologis

Ini diawali dengan maraknya penyerangan terhadap budaya populer yang saat ini tengah marak melalui jejaring sosial (baca: sosmed) disebabkan kecanggihan informasi dan teknologi.
Akhir-akhir ini pembaca berita akan dibuat miris dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi dengan tagline SELFIE. Dari masyarakat sipil hingga pejabat sekelas Barack Obama pernah diberitakan dengan tema serupa. Akan tetapi, pembaca akan dibawa pada sebuah gagasan bahwa selfie merupakan sebuah aktivitas yang tidak beretika.

Jadi, narasi seperti "selfi harus tahu situasi dan kondisi" menjadi sebuah landasan utama bahwa aktivitas memotret diri sendiri harus melihat konteks. Akan tetapi, konteks seperti apa yang tepat untuk menggunakan selfie agar tepat penggunaannya, sampai saat ini belum ditemukan fungsi yang bisa diterima secara fair. Belum lagi pemberitaan terhadap bahaya selfie di Indonesia menjadi sebuah momok masyarakat yang disorot sebagai aktivitas mengancam dan berlebihan. Ambillah contoh, berita belakangan ini tentang remaja yang gila selfie menginjak bunga, atau yang diberitakan lebih parah adalah ketika selfie telah merenggut nyawa dua mahasiswa di Jakarta, atau juga di Gunung Merapi Yogyakarta.

Sabtu, 30 Januari 2016

Kekuatan Bahasa dalam Teks: Membaca “The Catcher in The Rye” Karya JD Salinger

Tulisan ini mungkin terlambat 70 tahun lebih lamanya. Meskipun, membuka teks-teks dalam The Catcher in The Rye di masa ini akan berbeda ketika membaca di masanya (baca: periode 50-an). Jika membaca novel tersebut dalam versi Bahasa, maka muncul pertanyaan apa bahayanya novel yang telah mengilhami Chapman untuk membunuh John Lennon atau juga judul tersebut menginspirasi Gun N’ Roses untuk mempopulerkan lagu dengan judul yang sama, serta sederet aliwahana lainnya yang didasari oleh novel karya J.D Salinger tersebut.


Holden Caulfiled, seorang remaja yang dikeluarkan dari sekolah populer Pencey memutuskan untuk tidak menunggu hingga Rabu untuk pulang ke rumahnya di New York. Maka pada hari Sabtu, setelah mendengar bahwa Stradlater, teman sekamarnya baru pulang dari kencan dengan sahabat masa kecilnya, Jane, Holden dengan emosi memuncak berkemas dan berangkat menuju New York. Holden menggunakan waktu tiga hari-nya untuk menceritakan semua pikiran dan perasaannya ke dalam bahasa dan pikiran orisinal khas remaja. Diceritakan bahwa Holden menggunakan waktu-waktu tersebut untuk tidak langsung pulang ke rumahnya, tetapi berkeliling New York tanpa sepengetahuan keluarga maupun orang-orang yang dikenalnya.

Ilmu Merusak Ideologi. Benarkah?

Akan saya awali blog ini dengan kata-kata Pierre Macherey (1966) bahwa "Ilmu merusak ideologi". Kurang lebih, Macherey melihat bahwa dengan ilmu, pembaca mampu melihat jauh tatanan ideologi serta paham akan posisi dirinya dan yang lebih berbahaya adalah dengan ilmu, segala macam bentuk ideologi akan dapat dinampakkan.

Saya hanya menyambut blog ini sebagai sebuah wadah ekspresi terhadap apa yang saya lihat. Berusaha memahami pula bahwa hakikat ilmu adalah berendah hati dan mengoreksi diri karena tidak semua hal mampu kita ketahui di dunia ini (Suriasumantri, 2001). Dan dengan mengaitkan kedua gagasan pemikiran di atas, semoga blog ini bisa dibaca dan dipahami.

Membaca memang berbahaya, tetapi bukan berarti yang bahaya itu harus dihindari. Bahaya adalah tantangan. Hanya orang yang berani yang mau membaca, dan tentu menyelesaikan bacaannya.

Yeyeyeye, mulai membacalah :)