Sastrawan asal Tasikmalaya, Jawa Barat, Godi Suwarna, merupakan salah satu sastrawan produktif yang banyak melahirkan karya sastra, diantaranya sajak, cerpen, novel, serta naskah drama. Aktif dan produktif semenjak gemar membaca Majalah Mangle serta karya- karya sastra Danarto, Ramadan KH, juga tembang-tembang Sunda Cianjuran dan kawih-kawih Mang Koko di radio. Meskipun karya-karyanya berbahasa Sunda, cerita yang disampaikan merupakan variasi atas apa yang terjadi dalam kehidupan sosial politik Indonesia, seperti dalam novel Sandekala dan Deng yang menceritakan tentang semerawutnya Bangsa Indonesia akibat korupsi yang merajalela dan pengaruhnya terhadap rakyat jelata. Tulisan ini akan memaparkan biografi Godi Suwarna, latar belakang kehidupan, karya-karya sastra yang dibacanya dan pengaruh terhadap karya-karya yang dilahirkannya.
Godi Suwarna, seorang penyair, cerpenis, novelis, dan dramawan Sunda ini dilahirkan di Tasikmalaya pada 23 Mei 1956. Lulusan Bahasa Indonesia IKIP Bandung ini juga berprofesi sebagai guru dan redaktur di Sipatahunan. Mulai mengarang puisi dan prosa dalam bahasa Sunda sejak tahun 1976 saat masih duduk sebagai mahasiswa IKIP. Pernah ikut bermain, menyutradarai, dan menulis lakon, antara lain dalam Burung-burung Hitam, Orang-orang Kelam, Gaok-Gaok Geblek dan Gor-Gar. Selain mengarang, juga suka bermain drama sejak kecil. Saat kuliah, mendirikan Teater IKIP Bandung dan ikut bermain di Studiklub Teater Bandung. Penulis cerita pendek dalam Bahasa Sunda ini sempat mengikuti Utan Kayu International Literary Biennale dan International Poetry Festival Indonesia 2006. Dia telah menghasilkan sedikitnya lima kumpulan puisi, yaitu Jagat Alit (1978), Surat-surat Kaliwat (1984), Blues Kere Lauk (1994), Sajak Dongeng Si Ujang (1996), dan Jiwalupat. Dua kumpulan cerpen, Murang Maring (1982) dan Serat Sarwasastra. Dua novel, Sandekala (2007) dan Déng (2009). Juga satu naskah drama, Durmayudha, yang ditulisnya saat masih di IKIP Bandung.
Dibesarkan di lingkungan yang sangat kental dengan kesenian Sunda. Ayahnya piawai memainkan alat musik kecapi, dan ibunya mahir menembangkan tembang cianjuran. Sejak kecil selalu dibacakan cerita-cerita dari majalah Manglé, gemar membaca, dan mengikuti kelompok sandiwara Kampung Kondang yang diselenggarakan setiap hari Sabtu malam di kampungnya. Keakrabannya dengan dunia kesenian, dan ditemukannya Godi oleh Wawan A. Husein sebagai pemandu bakat saat di IKIP Bandung, barulah ia mengenal dunianya yang sebenarnya.
Kreativitasnya dalam mengolah kata dan berkesenian membuatnya mendapat banyak penghargaan. Penghargaan-penghargaan yang diperoleh Godi diantaranya: Sutradara Terbaik PORSENI tingkat Jawa Barat (1980), dan tingkat Nasional (1981), Tengul karya Arifin C. Noor; Hadiah Sastra Rancagé untuk Kumpulan Puisi Blues Kere Lauk (1993); Hadiah Sastra Rancagé untuk cerpen Serat Sarwasastra (1996); Hadiah Sastra Paguyuban Pasundan untuk Novel Sandékala (1998); Hadiah Sastra Oeton Moechtar untuk Novel Déng (2000). Godi Suwarna mencintai tembang-tembang Sunda Cianjuran, kecintaannya terhadap tembang melankolis ini memengaruhi sajak-sajaknya. Sajak Alit (1979) banyak terpengaruh oleh tembang-tembang Sunda yang didengarnya semenjak kanak-kanak.
Dibesarkan di lingkungan yang sangat kental dengan kesenian Sunda. Ayahnya piawai memainkan alat musik kecapi, dan ibunya mahir menembangkan tembang cianjuran. Sejak kecil selalu dibacakan cerita-cerita dari majalah Manglé, gemar membaca, dan mengikuti kelompok sandiwara Kampung Kondang yang diselenggarakan setiap hari Sabtu malam di kampungnya. Keakrabannya dengan dunia kesenian, dan ditemukannya Godi oleh Wawan A. Husein sebagai pemandu bakat saat di IKIP Bandung, barulah ia mengenal dunianya yang sebenarnya.
Kreativitasnya dalam mengolah kata dan berkesenian membuatnya mendapat banyak penghargaan. Penghargaan-penghargaan yang diperoleh Godi diantaranya: Sutradara Terbaik PORSENI tingkat Jawa Barat (1980), dan tingkat Nasional (1981), Tengul karya Arifin C. Noor; Hadiah Sastra Rancagé untuk Kumpulan Puisi Blues Kere Lauk (1993); Hadiah Sastra Rancagé untuk cerpen Serat Sarwasastra (1996); Hadiah Sastra Paguyuban Pasundan untuk Novel Sandékala (1998); Hadiah Sastra Oeton Moechtar untuk Novel Déng (2000). Godi Suwarna mencintai tembang-tembang Sunda Cianjuran, kecintaannya terhadap tembang melankolis ini memengaruhi sajak-sajaknya. Sajak Alit (1979) banyak terpengaruh oleh tembang-tembang Sunda yang didengarnya semenjak kanak-kanak.
JAGAT ALITHareupeun kelir : kalangkang-kalangkang wayangKalangkang usik-usikan, kalangkang di obah-obahIeu rendeuk reujeung igel, ieu tincak reujeung ketakPulang-anting, pulang anting lebah dunya hideung bodasDongeng naon anu rék midang? dalang kawasa!Aya raga nu tumamprak sanggeus campala noroktokSabot nungguan balebat, duh peuting ngajak ngalinjingRenghap ranjug, renghap ranjug saméméh ajal ngolébat
Puisi Jagat Alit merupakan kisah masa mudanya yang penuh dengan lika-liku kehidupan, tentang kegelisahannya akan konsep kematian[1]. Awal kegemarannya menulis puisi adalah ketika Godi bisa mengutarakan perasaannya lewat kata-kata puitis, yang baginya lebih nyaman menggunakan kosakata Bahasa Sunda karena memiliki banyak variasi kata untuk menggambarkan makna. Setelah itu, Godi gemar menulis cerpen dan novel.
diunduh dari https://contohpantunpuisicerpen.blogspot.co.id |
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ahid Hidayat yang berjudul Enam Cerpen Karya Godi Suwarna: Dongeng Metaforis dan Maknanya, motif yang membangun keenam cerpen Godi memiliki tema yang beragam, namun menyoroti satu persoalan, yakni kondisi manusia. Pada dua cerpen ditemukan motif yang umum terdapat dalam karya-karya absurd, yakni motif perasaan terasing dan motif rutinitas. Artinya, memang benar bahwa ada cerpen Godi Suwarna yang bersifat absurd, namun tidak semua cerpennya bisa disebut absurd. Cerpen Godi Suwarna menunjukkan adanya hubungan yang beragam dengan konteks jaman. Telaah yang dilakukan juga menunjukkan banyaknya penggunaan metafora. Karena itu, cerpen-cerpen Godi Suwarna dapat dianggap sebagai dongeng-dongeng metaforis. Peristiwa-peristiwa yang dipandang ajaib, tidak masuk akal, atau menyimpang dari realitas fiktif, secara metaforis mempunyai makna yang bersifat tersirat dan berhubungan dengan konteks jaman. Inilah yang melahirkan anggapan bahwa cerpen Godi Suwarna tergolong surealis atau absurd.”[2]