Jumat, 06 Mei 2016

Fiksi Populer

Untuk Gusman

Tanggal 2 Mei 2016, saya ditraktir nonton AADC 2 oleh seorang sahabat yang kebetulan mampir ke Jogja. Seperti kebanyakan penonton, sepulang nonton kami berbincang di kedai kopi pinggir jalan. Hal pertama yang menjadi testimoninya tentang film yang baru saja ditonton adalah “Keren, ya film seperti itu tidak mempermasalahkan tetek-bengek. Maksudnya, pas di satu adegan, kita bisa melihat bahwa Alya adalah seorang Kristen. Kebanyakan film Islam menyuguhkan banyak kesempurnaan. Kebaikan yang terlalu banyak ditonjolkan, dan melupakan bahwa sebenarnya manusia itu tidak begitu (sempurna).” Kurang lebih begitu dia bilang. Dia menanti jawabanku, aku tidak bisa berkata apapun, tetapi sejujurnya banyak yang berputar-putar di kepala.

Pertama, kita harus membedakan mana fiksi serius mana fiksi populer. Fiksi populer memberikan hiburan dan nilai eskapisme bagi pembaca/penontonnya. Mengangkat hal-hal yang tetek-bengek menjadi sebuah hal yang harus diseriusi. Katakanlah bahwa kemunafikan Cinta dalam AADC menjadi sebuah permasalahan serius dalam percintaan dan persahabatannya, sederhananya, jika Cinta tidak se-munafik itu mungkin cerita AADC tidak mungkin diangkat ke layar lebar. 

Kedua, peminat fiksi pop adalah orang-orang yang juga pop. Dan orang-orang pop ini adalah orang-orang yang malas memikirkan hal-hal serius. Ketiga, fiksi pop menghindari hal-hal serius semacam politik, sejarah, dan agama. Sederhananya, jika penonton dipaksa menonton tema-tema serius mereka lebih memilih masuk perpustakaan ketimbang ke bioskop.

Efek dari fiksi populer akan lebih besar lagi bagi penontonnya. Penonton atau pembaca pop akan lebih mudah menjadi seorang sosialis, apakah itu berbahaya? Jelas saja, pononton pop akan mudah terpengaruh oleh tontonannya, yang diciptakan oleh kelompok-kelompok tertentu yang menguasai ‘media’nya, penonton akan tertutup dengan wacana-wacana lain di luar ideologis tontonan/bacaannya. Itulah mengapa, penonton pop akan menjadi sosialis untuk bacaannya tapi individualis di luar bacaannya. Contohnya begini, penonton AADC akan merasa sangat simpati terhadap hubungan Cinta-Rangga, mereka jadi tidak lagi perlu memikirkan wacana perbedaan faham politik ataupun agama, kenapa? Karena itu tidak perlu dipikirkan, itu tidak mengibur malah menciptakan perpecahan. Ingat, peminat pop selalu menjungjung tinggi nilai C-I-N-T-A.

***

Selasa, 03 Mei 2016

Ada Apa Dengan Semua (Faktor) Kebetulan Di AADC 2?

Semenjak ditayangkan perdana di akhir April 2016, kehadiran sekuel Ada Apa Dengan Cinta? kembali membawa memori masa silam di tahun 2002. Ketika romantika remaja SMA dikemas dengan cerita sederhana sekaligus ekslusif melalui tokoh-tokoh menawan dan tema kelompok persahabatan (geng) dalam media film, tak ayal film-film yang sejajar tayang mulai tidak acuhkan, termasuk film-film box office. Tak perlu pertanyakan bagaimana bisa cerita sederhana tersebut begitu mengena di penontonnya, hingga kemudian mengekor film-film lain setelahnya, juga dalam sinetron dan novel, kisah-kisah anak-anak sekolah yang tidak hanya soal romantika, akan tetapi juga dibumbui kisah horor, detektif, hingga sejarah. Yang intinya adalah melibatkan remaja.
Bisa jadi, gerahnya penonton terhadap film-film klise superhero maupun tema yang dianggap terlalu dewasa bagi usia penontonnya sudah membuat jengah. Apalagi kebanyakan penonton adalah kawula muda. Dan tentu saja, hadirnya remaja sebagai tokoh utama mewakili identitas mereka untuk merasa eksis, setidaknya menyadarkan diri sendiri terhadap dunianya. Dan sungguh momen yang sangat tepat sekali untuk kembali ‘mempertanyakan’ cinta antara Rangga dan Cinta setelah 14 tahun mereka diombang-ambingkan kisah romansa klise yang tak selesai. Seolah, penonton juga menjadi saksi bisu yang dihantui cinta mereka yang mengambang tidak tuntas. Dan penonton yang kala itu remaja di tahun 2002, tentu telah beranjak dewasa dan ‘menginginkan’ kisah kasih yang sedikit serius, ketimbang melanjutkan kisah remaja ataupun masa mahasiswa.

Penonton kembali berduyun, ingin menuntaskan kisah lama yang menggebrak, diungkit kembali. Dan tentu saja, Rangga, Cinta, Maura, Carmen, dan Milly terkaget ketika nyatanya kisah ini hadir dan kembali memunculkan mereka yang telah dewasa dan beberapa telah menikah. Berbeda dengan kisah persahabatan Carrie Bradshaw dan kawan-kawan di Sex in The City, kisah AADC 2 memang disesuaikan dengan selera masa kini: dewasa namun tetap ketimuran, tepat dengan cerita-cerita drama Korea yang serupa. Di awal-awal cerita, penonton bertanya tentang keberadaan Alya yang tidak juga nampak hingga seperempat durasi film. Kenyataan pahit harus diterima Alya dengan kisah pilu dirinya ‘dimatikan’ dengan alasan kecelakaan jalan raya. Tentu saja, harus ada tokoh yang dikorbankan karena dalam persahabatan, lima orang terlalu ramai. Tidak terbayang bagaimana sulitnya merangkai kisah Alya dewasa, yang sebenarnya sudah dan paling dewasa diantara keempat sahabatnya meskipun masih remaja. Jadi dengan ‘keji’ tokoh Alya memang perlu dihilangkan, apapun alasannya, toh kisah Alya sudah menyedihkan dari awalnya.