Sabtu, 17 Juni 2017

Melankolia dan Bentukkan Ruang Skizofrenia dalam “Semua Ikan di Langit” Karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie

Judul : Semua Ikan di Langit
Penulis : Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
Penerbit : Grasindo
Tahun : Februari 2017

Okay, katakanlah begini: kadang-kadang SNDKJ (maaf, ini bukan nama girlband) tidak pernah salah memenangkan novel sebagai juara. Kali ini, “Semua Ikan di Langit” karya Ziggy blablabla (saya gak sanggup nulis nama belakangnya), membuat lama sekali dituntaskan bacanya. Biasanya satu novel bisa diselesaikan satu malam, ya, seperti lagu dangdut yang itu. Novel ini benar-benar menguras nalar dan fantasi saya terlempar jauh ke langit-langit.

Setiap babnya, saya tutup bukunya, kemudian mengembarakan imaji pada hal-hal detail yang tidak pernah saya sadari mampu dipikirkan. Bagaimana sebuah bus damri jadi tokoh utama dan menceritakan banyak hal. Terlebih bisa naik-turun, melaju-terbang, ke bumi-angkasa, marah-bahagia, dalam satu kisah.

Bus damri mengingatkan saya pada masa-masa SMA, ketika ‘akuarium’ ini jadi benda paling ditunggu ketika masa kere tiba. Ongkosnya ketika itu seribu rupiah. Dan jujur saja kemampuan teater saya terasah gara-gara bus ini: memasang mimik pura-pura sudah bayar pada kondektur agar tidak ditagih. Juga tentu saja,kemampuan bersabar penumpangnya jangan ditanya, bus ini bisa jadi melaju dengan kecepatan 0,05 KM/Jam, tidak, saya tidak bercanda. Pernah saya hitung karena bus ini sering sekali mogok dan didorong karena bikin macet.

Iya, novel ini bukan tentang keindahan bahari, ikan dan pantai. Apalagi latarnya Bandung, tidak ada cerita mengenai laut, kecuali Bandung Lautan Api. Ceritanya sederhana; sebuah bus damri yang melaju mengelilingi kota ditemani seekor kecoak dan seorang anak kecil yang mampu menerbangkan bus itu ke angkasa dengan bantuan ikan julung-julung. Mereka membawa pada kisah-kisah haru kehidupan –juga kematian, dengan mengemasnya sangat ekslusif ke dalam kata-kata fantasi yang fantastis.

Teks-teks seperti ini, baru-baru ini hits dalam kesusastraan Indonesia. Teks-teks yang jauh melampaui postrukturalisme, saya pikir ini masuk ke dalam teks-teks posmodernisme, yang seingat saya merupakan teks-teks skizofrenia. Skizofrenia merupakan tata bahasa yang keluar dari struktur teks, membangun struktur sendiri. Itulah kenapa teks-teks hyperfantasy marak dalam novel-novel saat ini. Dalam novel karya Ziggy ini, ada ruang yang dibangun oleh penulisnya, yang tidak biasa, tidak terdefiniskan, atau tidak tergambarkan oleh dunia nyata. Ruang angkasa yang ditata bukan ruang angkasa yang dikenal, lebih kepada ruang baru yang dibuat, sebuah ruang yang membawa pembaca pada dunia buatan Ziggy. Itulah kenapa teks-teks seperti ini dikatakan Skizo, kalau tidak salah tulisan mengenai Skizofrenia dalam teks ditulis Deleuze (nanti saya baca-ulang, hehe).

Saya pikir, ruang ini berbeda dengan yang digagas Lyotard mengenai Artificial Life. Tidak ada kenyamanan di dalam ruang ini. Lebih kepada escape yang memberontak dari struktur bahasa, tanpa dibangun dari struktur sebelumnya. Ruang angkasa yang digambarkan tidak berhubungan dengan ruang nyata. Bukan pula bentuk oposisi Bumi-Angkasa, tetapi Bumi-Ruang Fantasi. Bumi menjadi ruang nyata yang dystopia, sementara ruang fantasi menjadi ruang baru yang imajiner.

Membaca teks seperti ini, akan sia-sia jika menilai nyata-fiktif, atau realis-fantasi. Teks seperti ini menjadikan pembaca sabar dan masuk pada gambaran yang diantarkan penulisnya. Mengenal dan menerima bentuk-bentuk baru yang tidak dipahami sebelumnya. Seperti halnya kita memahami bahwa ‘penderita’ skizofrenia, bukan untuk diobati pada dunia real, tetapi lebih ingin dipahami, bahwa secara tidak sadar semua individu memiliki ‘ruang’ imajinernya sendiri, tanpa ingin dipaksa ‘disadarkan’ pada ruang buatan manusia.

***