Fiksi kini bisa dinikmati oleh semua pembaca dari beragam negara. Bagi saya yang tak hanya menggemari novel-novel Indonesia, terjerumus juga ke dalam novel-novel terjemahan berlabel classical fiction.
Di salah satu bazar toko buku, saya memilih tiga novel klasik terjemahan; Anna Karenina, Scarlet Letter, dan Black Beauty. Yang kebetulan harganya hanya sekitar 14K - 20K saja. Seorang teman dari Sastra Inggris beberapa kali mengeluhkan kemampuan bahasa menerjemahkan fiksi Bagi saya yang awam dengan Bahasa Inggris tidak terlalu memermasalahkannya. Dan terbukti dalam waktu tiga hari, saya sudah menyelesaikan tiga novel tersebut dengan eskapisme sendiri.
Kebetulan dua diantaranya, Anna Kareninna dan Scarlet Letter, memiliki tendensi yang sama mengenai sudut pandang moralitas di masa itu (sekitar abad tujuh belas dan delapan belas). Novel Anna Karenina tidak bisa saya paksa mampu memberikan sudut pandang lebih luas karena novel tersebut lebih dikatakan tulis-ulang ketimbang saduran (novel aslinya sekitar 1500 halaman).
Begitupun dengan Scarlet Letter, kendati demikian novel yang satu ini menurut saya memberikan gambaran mengenai romantisisme yang sering dibahas oleh teman-teman saya di Sastra Inggris. Romantisisme, menurut mereka, adalah kembali ke alam. Dan terbukti benar ketika saya berada di halaman pertemuan antara Hester dan Arthur di hutan jauh dari kota. Mereka yang terkungkung dengan peradaban dan moralitas (kota) mampu melepaskan itu semua ketika di hutan.
Hester melepaskan segala beban dan rahasianya di hutan tersebut, dengan simbol melepaskan letter A yang selama tujuh tahun tersemat di dadanya, melemparkannya ke air. Dan Arthur bisa berkata dengan jujur mengenai dirinya yang selama ini tak mampu dia katakan ketika di kota, mengingat dirinya adalah seorang pendeta.
Fiksi-fiksi semacam itu bisa kita lihat dalam Sastra Indonesia, seperti karya-karya Aan Mansyur, yang saya ingat cerpen berjudul Di Tempatmu Berbaring Sekarang. Kita akan menemukan tempat-tempat melepaskan nilai-nilai (modernitas) yang membelenggu manusia, entah itu hutan, hati, ataupun pikiran.
Pada akhirnya, saya hanya mampu mengatakan bahwa apapun buruknya terjemahan yang terjadi dalam fiksi, kita tidak bisa menolak bahwa ujungnya, kemampuan nalar kita yang digunakan untuk memahami maksud teks tersebut bicara. Jadi, harusnya kita tidak sampai menyalahkan teks terjemahan jika kata-kata tersebut sulit kita pahami atau dianggap ngawur.