Tulisan ini merupakan kajian yang berusaha menunjukkan eksistensi kelas-kelas yang berada di fiksi Dunia Sophie (Bahasa Indonesia) karya Jostein Gaardner. Meskipun tidak secara keseluruhan, tulisan singkat non-ilmiah ini hanya menggambarkan bagaimana eksistensi kelas borjuis, proletar, hingga pertemuan tersebut berubah menjadi pertemuan komunis dan kapitalis hanya melalui kisah singkat pertemuan antara Ebenezeer Scrooge dan Gadis Korek Api.
Pertemuan Dua Tokoh Fiktif Legendaris
Narasi antar teks yang berbeda mampu dihubungkan dalam sebuah peristiwa. Bagi Iser (1978) pertemuan antar teks tersebut saling memengaruhi antara teks dan pembacanya. Jostein Gaardner mempertemukan banyak narasi cerita ke dalam novel filsafatnya berjudul Dunia Sophie (1991). Meskipun kebanyakan mengisahkan peranan para filosof sebagai gagasan utama Alberto Knox untuk memberikan kuliah filsafat kepada Sophie Amundsen. Dunia Sophie merupakan cerita dalam cerita yang dibangun oleh Gaardner yang mengisahkan Albert Knag yang menulis novel filsafat untuk anaknya Helda Knag. Novel itu kemudian, di dalamnya, mengisahkan Sophie Amundsen –yang seusia dengan Helda, bertemu dengan Alberto Knox yang memberikan kuliah filsafat. Di dalam kuliahnya tersebut, Alberto menjelaskan filsafat kepada Sophie, di luar itu Albert Knag memberikan gagasan filsafat lain melalui kisah Sophie sendiri.
Pertemuan antara kisah-kisah berbeda tersebut dikemas ke dalam satu fragmen guna memberikan contoh sederhana namun bermakna bagi pembacanya. Kebanyakan kisah yang diambil lebih kepada kisah nyata mengenai perjalanan seorang filsuf memikirkan gagasan yang digelutinya, seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Hegel, dan beberapa filsuf kenamaaan lainnya yang dibahas tiap babnya. Beberapa tokoh fiksi dunia diselipkan sebagai pembawa pesan inti cerita, misalkan Noah atau Nabi Nuh yang membawakan gambar binatang-binatang yang diselamatkannya dalam bahtera buatannya. Atau Si Kerudung Merah yang mengganggu Alberto dan Sophie saat belajar, beberapa tokoh fiksi tersebut memang diwujudkan dalam teks dan memiliki tendensi tersendiri.
Salah satu kisah menarik terdapat dalam bab mengenai Marx, Gardner melalui Albert mempertemukan dua cerita dunia; A Christmas Carrol oleh Charles Dickens dan A Little Matchgirl oleh Hans Christian Andersen sebagai contoh antara kaum borjuis yang diwakili oleh Scrooge dan kaum proletar oleh Gadis Korek Api. Diceritakan bahwa Sophie bertemu dengan Ebenezeer Scrooge di hutan dalam perjalannya menuju gubuk Sang Mayor. Scrooge tengah sibuk dengan kalkulasi perusahaannya dan sangat tidak berkenan untuk diganggu, bagi Scrooge keuntungan dan kekayaannya merupakan kesuksesan utama yang tidak bisa disia-siakan. Maka Sophie tidak memiliki kepentingan dengannya meneruskan perjalanannya, tidak berapa lama dia kemudian bertemu dengan Gadis Korek Api yang digambarkan miskin dan menjual koreknya seharga 1 crown. Merasa ironis dengan keadaan Gadis Korek Api tersebut, Sophie kemudian menuntun gadis itu menuju Scrooge. Dan sesuai dugaan, Scrooge menolak untuk menolong gadis miskin tersebut dan menyuruhnya pergi.
Ketika Gadis Korek Api tersebut mengancam Scrooge untuk menyalakan korek apinya dan membakar hutan, Scrooge berteriak Tuhan menolongku! Jago merah itu telah berkokok! Kemudian si Gadis Korek Api tersenyum lucu dan berkata dengan tidak terduga Anda tidak tahu aku seorang komunis, bukan? Dialog pendek tersebut sejenak menghentak pembaca, bahwa pertemuan dua tokoh fiksi dunia dalam sebuah novel filsafat mengenai gagasan Marx tentang materialisme menjadi contoh menarik bahwa setelah lebih dari satu abad lamanya kaum proletar membalaskan dendamnya pada kaum borjuis hanya dengan sebatang korek api. Meskipun hanya beberapa halaman mengenai peristiwa itu dan hanya beberapa kalimat dialog mengenai hal tersebut, Gaardner menunjukkan reuni apik antara kapitalis dan komunis.
Sebenarnya pertemuan dua teks tersebut memiliki tujuan untuk menjelaskan secara kontras beda antara kaum borjuis dan kamu proletar, ataupun kapitalis dan komunis. Akan tetapi letak dikotomi yang ingin dibangun penulisanya dirasa sedikit tidak mengena saat pertemuan dua tokoh dunia, Scrooge dan Gadis Korek Api tersebut memiliki kesamaan satu dengan yang lainnya. Pertama, kedua tokoh tersebut adalah sama-sama seorang pedagang. Bedanya adalah deskripsi yang dibangun oleh penulis bahwa Scrooge adalah pedagang kaya sementara Gadis Korek Api merupakan pedagang miskin. Mereka dibedakan dengan tanda-tanda sepintas, yakni meja yang dimiliki oleh Scrooge, dan korek api yang dijual oleh gadis miskin yang digambarkan berpakaian compang-camping dan terlihat pucat. Pembaca digiring dengan tanda miskin dan kaya hanya berdasar pada deskripsi singkat, sementara melupakan bahwa keduanya adalah benar pemilik modal. Identifikasi yang dibangun oleh pengarang atau narator utama mengenai setting cerita pertemuan tokoh di hutan merepresentasikan nominal materi yang dimiliki keduanya, meskipun keduanya sama-sama berprofesi sebagai seorang pedagang, dengan tegas narator membedakan kedua tokoh tersebut dengan identifikasi kaya dan miskin. Kedua, dari deskripsi di atas narator kemudian memberikan golongan di antara keduanya, yakni kapitalis dan komunis, yang kemudian menjadi ilustrasi pembentukan ideologi masing-masing.
Pedagang Kaya Sombong dan Pedagang Miskin Lugu
Borjuis dan Proletar
Kendatipun kedua tokoh fiksi yang bertemu dalam sebuah bab Dunia Sophie mereka menjadi merepresentasikan dua golongan berbeda berdasarkan gambaran yang ditulis oleh Gaardner melalui Albert Knag selaku autor ke dua. Identifikasi atas borjuis dimiliki oleh Scrooge melalui deskripsi singkat kurang lebih lima paragraf, meskipun demikian, pembaca telah mengetahui background cerita melalui novela A Chrismas Carrol; Ebenezeer Scrooge seorang pengusaha kikir yang didatangi tiga roh partnernya yang menunjukan masa lampau, masa saat ini, dan masa depan Scrooge. Dari tiga pengalaman tersebut, Scrooge kemudian menyadari dirinya selama ini telah menjadi seorang yang tamak dan tidak memiliki jiwa sosial terhadap sesamanya. Setelah itu Scrooge berubah menjadi seorang pengusaha yang baik hati.